Langsung ke konten utama

“Wahai Garuda Turunlah!”


PRESIDEN Soekarno tiba di Aceh, lalu singgah di Kutaraja untuk memohon pengertian rakyat Aceh: betapa negeri yang baru merdeka ini sangat membutuhkan kesetiaan rakyat, modal pengusaha, dan doa ulama. Bagi republik yang masih mencari format kenegaraan dan ketatanegaraan, di usia yang belia, tempo dulu, proaktif dan partisipatif daerah dituntut lebih.


Lantaran sedang merancang dan mencoba bentuk ketatanegaraan, wajar rasanya jika wilayah Aceh semula sempat bersama dalam satu provinsi dengan Sumatera, di bawah Gubernur Mr T Muhammad Hasan, kemudian terpilah-pilah dan tergabung kembali dengan beberapa wilayah lain.

Beberapa kali Aceh dipisah lagi dalam keresidenan, bersama wilayah tetangga seperti bersama Sumatera Timur dan Tapanuli. Saat Aceh dalam keresidenan, pernah Teuku Nyak Arief dan Teuku Daud Syah pernah menjadi residen yang berpusat di Kutaraja. Aceh juga pernah dipimpin oleh Tgk Muhammad Daud Beureueh--Gubernur Militer Aceh, Langkat dan Tanah Karo--dalam format provinsi.

Nah, tatkala Abu Beureueh didengar dan ditaati rakyat--alasan klasik, karena karismanya--di sebelah selatan Masjid Raya Baiturrahman itu, Presiden Soekarno, dengan jas hitam, kacamata gelap, dan berpeci nasional itu, berdialog dengan elemen masyarakat, unsur ulama, dan saudagar kita. Tentu juga dengan ribuan rakyat Aceh yang dibilang heroik. Kisahnya terurai haru di buku sejarawan: beberapa bulan sebelum peringatan dirgahayu empat tahun kemerdekaan RI, Agustus 1949.

Peristiwa kesetiaan orang Aceh dengan republik yang amat penting di kala genting itu, berlangsung di Atjeh Hotel--sekitar 10 tahun lalu sudah terbakar (atau dibakar?). Konon di pertapakannya akan dibangun hotel (Novotel Hotel Aceh) bertaraf internasional. Namun sudah bilangan tahun, baru ada pancangan “angker”, yang usai tsunami telah dicat berwarna-warni. Di sana juga seniman akrab melantunkan puisi. Kalau ada keramaian, pameran, dan nyanyian di Taman Sari, bekas pertapakan Hotel Aceh dijadikan area parkir oleh Pemkot Banda Aceh, atau oleh “preman gampong” sekitar.

Hotel Aceh di Jalan Mohammad Jam itu, berdiri persis pada jarak hampir seratus meter dari tempat putrinya, Megawati Soekarno Putri, dengan kerudung cantik--usai shalat dua rakaat--juga sukses berpidato dan berjanji di hadapan ribuan rakyat Aceh, pada suatu siang 8 September 2001, dari halaman Masjid Raya Baiturrahman.

Kalau dua pertiga abad yang lalu, ayahnya dan rakyat Aceh mencetuskan pembelian Dakota, lalu 10 tahun yang silam, Megawati berpidato di Masjid Raya Baiturrahman tentang jasa orang Aceh (juga soal pesawat awal kemerdekaan), maka 26 September enam tahun silam, kembali bersama Pemda Aceh di Blang Bintang, dalam hujan deras, lagi-lagi putri Bung Karno itu meresmikan “sayap-sayap Seulawah NAD” untuk “mengepak” kembali. Ini juga sebait nostalgia indah yang aduhai, di awal era otonomi, yang ternyata jadi kisah kelam kembali, karena “sayap Seulawah” patah lagi, patah pate, bersama kasus-kasus korupsi, dan bagi generasi Aceh, ini kegelapan atas kegelapan.

Terus, dari lobi Hotel Aceh yang melegenda itu, pesawat udara Seulawah (Pioner Garuda Indonesian Airways) dicatat kisahnya. Untuk ini, salah satu tokoh Aceh--Tgk Mansoer Ismail, Sekretaris Abu Daud Beureueh--yang sempat melihat langkah dan air mata Soekarno merekam untuk kita. “Terakhir ia menumpahkan air mata buayanya untuk memperdaya tokoh masyarakat dan ulama,” kenang Abu Mansoer Ismail di Beureunuen dalam usia rentanya, tanpa tunjangan pensiunan itu, pada Munawardi Ismail, seorang wartawan yang sekampung dengannya.

Dan ternyata proyek Seulawah RI-001--cikal bakal GIA yang repliknya ada di Blang Padang--itu cuma satu yang dapat terbeli. “Satu unit lagi entah di mana rimbanya,” gugat Abu Mansoer agak sesal, pada “cucu”nya itu.

Dalam pertemuan di Hotel Aceh itu, antara Presiden beserta rombongan berdialog dengan GASIDA (Gabungan Saudagar Indonesia Daerah Aceh). Dia setelah membicarakan situasi negara yang genting, juga saat itu mengusulkan dan meminta pihak GASIDA kiranya sanggup menyediakan sebuah pesawat terbang Dakota yang seharga sekitar M$ 120 (dolar Malaya) atau kira-kira 25 kg emas.

Aneh sekali, menjelang akhir pertemuan itu, Presiden mengatakan tidak mau makan sebelum mendengar jawaban dari para pengusaha, sanggup atau tidak. Atas usul tersebut, Ketua GASIDA, M Djuned Yusuf, Haji Zainuddin dan sesepuh lainnya yang hadir dalam pertemuan itu, mengisyaratkan pada pada T Muhammad Ali Panglima Polem (sebagai jubir) bahwa menerima usul Presiden. Lalu Sang Presiden yang pertama RI itupun mau makan--maaf, kayak anak-anak yang diiming-iming hadiah, sebelum makan saja.

Belakangan GASIDA membentuk suatu panitia, yang diketuai T M Ali Panglima Polem sendiri. Berdasarkan pembicaraan dengan Residen Aceh, kemudian diputuskan akan membeli dua pesawat terbang Dakota. Satu atas nama GASIDA dan yang satu lagi atas nama seluruh rakyat Aceh. Upaya mengumpulkan dana dan emas, menurut Abu Mansoer (lahir di Jangka Buya Ulee Gle, 1902) oleh Abu Beureueh meminta Abu Daoed (staf wakil kepala keuangan kantor gubernur militer), Mansoer Ismail, dan T H Husen Samalanga (pegawai kantor gubernur militer) untuk meminta bantuan dari saudagar dan pedagang emas.

Maskapai Garuda Indonesia saat ini

Kedua pesawat yang dibeli dengan uang rakyat itu masing-masing diberi nama Seulawah I dan Seulawah II. Rute semula pesawat ke luar negeri, yakni Ranggoon (Birma) dan India. Soal siapa yang duluan membeli pesawat Dakota ini, tim lain dari residen lain, mungkin belum berhasil membeli seperti yang dilakukan rakyat Aceh. Padahal selain dana S$ 500 ribu, rakyat Aceh juga menyumbang dalam bentuk hewan (kerbau) untuk perjuangan di ibukota Yogyakarta waktu itu.

Kelak, atas sumbangan rakyat Aceh berupa uang dan emas, pemerintah di Yogyakarta, khususnya KSU-AURI (Kepala Staf Angkatan Udara RI) mengucapkan terima kasih, thank you. Telegram juga diterima dari AURI Komandemen Udara di Bukit Tinggi, pada Agustus 1948. T M Ali Panglima Polem selaku Ketua Panitia, menerima sebuah surat dari sana, karena kebetulan Presiden juga sempat ke Sumatera Barat itu. Seorang keturunan T M Ali Panglima Polem, T Zainal Arifin di Banda Aceh, beberapa hari yang lalu, dalam Droe Keu Droe (Serambi Indonesia) juga membenarkan kita bahwa T M Ali Panglima Polem sebagai Ketua Panitia saat itu, dan dengan tegas memohon Menteri BUMN “kap igoe”, demi harkat dan marwah Aceh, di tengah ambisi Garuda menjual sahamnya.

Akhirnya, hari ini, kita mengharap itikad baik manajemen Garuda untuk--mengutip kata-kata Bung Karno--jangan sekali-kali melupakan sejarah (jasmerah), sebelum orang Aceh marah dan geram padanya. Turunlah, menunduklah, rendah hatilah pada “kakakmu” Seulawah, pada jasa orang Aceh, yang “melahirkanmu”.

Hari ini, sambil mendengar bisingan pesawat Garuda di langit Aceh, anak cucu kita, siswa dan mahasiswa yang membaca sejarah, atau melihat replikanya di Blang Padang Indonesian Airways, mungkin bertanya kembali; setelah Seulawah Aceh milik Pemda “jatuh”; di tengah penjualan saham milik Garuda ke pihak asing--tanpa deviden (pembagian hak) apa pun buat Aceh; bagaimana lagi cara kita mengenang pesawat Seulawah, karena “kepak-kepak sayap” yang sudah patah, patah pate; kalau bukan meminta sambil menengadah ke atas pada “burung besi”; Garuda, turunlah!


* Muhammad Yakub Yahya
Direktur TPQ Plus Baiturrahman, Banda Aceh; serambinews.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

BUKTI PENGKHIANATAN MALEK MAHMUD DAN ZAINI ABDULLAH CS.TERHADAP WALI

STATUS ACHEH DALAM NKRI* Penulis Yusra Habib abdul Gani.Dan sebelumnya saya minta maaf kana saya ingin menulis sedikit isi buku tersebut,tentang bagai mana saat saat penandatanganan MoU,karna kami di dalam nanggro masih banyak yang belum tau tentang cerita tersebut,mulai halaman,129, 130,131,132, 133,yang isinya sebagai berikut : Yang membuktikan bahwa Tengku Hasan di Tiro memang benar benar ditipu oleh staff terdekatnya. Itupun,setelah Fadlon Musa ( salah satu anggota GAM di Belanda )mendapat teks MoU Helsinki dari Arif Fadilah (salah seorang anggota GAM di Jerman )pada tgl.6 Agustus 2005.Arif Fadilah sendiri memperolehnya dari Teuku Hadi ( salah seorang anggota GAM di Jerman ) yang ikut magang beberapa kali ke Helsiki. Setelah membaca teks MoU Helsinki,Fadlon terkejut dengan kalimat :" The parties commit themselves creating within which the government of the Acehnese people can be manifested through a fair and democratic processs within the unitary state and consti...

SITUS SEJARAH MAKAM KUTA GLEE SAMALANGA TERBENGKALAI

Di bagian depan komplek masih berdiri plang bertuliskan Komplek Makam Teungku Kuta Gle dan Benteng Kuta Gle .    Komplek Makam Kuta Glee.@ATJEHPOSTcom/MS Sultan KOMPLEK makam pahlawan Teungku Kuta Glee di perbukitan Desa Batee Iliek, Kecamatan Samalanga, Bireuen tak terurus. Padahal makam tersebut situs sejarah dan bukti gigihnya pahlawan Aceh melawan Belanda. Pantauan ATJEHPOSTcom, komplek makam itu masih dipenuhi belukar. Kesan tidak ada perhatian dari dinas terkait begitu kentara. Bahkan, bangunan yang menutupi makam atapnya telah rusak, tertimpa cabang pohon asam jawa. Dahan pohon menimpa atap bangunan yang menutupi makam telah terlihat sejak beberapa bulan lalu. Sepertinya tidak ada warga atau peminat sejarah yang datang ke sana untuk memperbaiki bangunan tersebut. Supaya terlihat ada rasa kepedulian dari anak negeri. Makam itu dikelilingi pagar beton dengan jeruji, berbentuk persegi sekitar 30 x 30 meter. Beberapa bagian pagar itu juga terlihat rusak...

Mengenal Malik Mahmud, Sang Pemangku Wali (1)

Malik Khaidir Mahmud.  Demikianlah nama asli beliau. Seorang tokoh elit eks Gerakan Aceh Merdeka (GAM) yang dikenal dekat dengan Wali Nanggroe, Hasan Tiro. Tokoh yang satu ini memang sungguh unik, tertutup dan sangat berhati-hati dalam berbagai isu yang menyangkut akan latar belakang dan riwayat hidupnya. Sehingga tidak diperoleh catatan yang jelas apa dan siapa Malik Mahmud tersebut. Sementara itu, arah politik Aceh pasca penandatanganan MoU Helsinki, menjadikan tokoh ini begitu populer sebagai Perdana Menteri GAM yang “berhasil” membawa perdamaian ke Aceh melalui jalur politik. Hingga saat ini, tidak ada catatan yang jelas mengenai siapa sebenarnya Malik Mahmud ini. Dari mana ia berasal, kompetensinya dalam karir yang digelutinya selama ini, catatan pendidikan dan pengalaman pekerjaan, keluarga, anak dan istri serta hal-hal lain yang terasa gelap bagi masyarakat Aceh tentang sosok yang disebut-sebut akan menjadi figure pemersatu bagi rakyat Aceh. Riwayat Keh...