Darurat Militer Aceh, 'Diculik Jenderal'
![Wartawan Republika Rusdy Nurdiansyah Bersama Komandan Kopassus TNI AD, Mayjen Sriyanto diatas kapal perang AL menuju Sabang mengikuti kunjungan kerja Kasad Jenderal Ryamizard Ryacudu pada Mei 2003.](https://static.republika.co.id/uploads/images/inpicture_slide/wartawan-republika-rusdy-nurdiansyah-bersama-komandan-kopassus-tni-ad_210217102614-384.jpg)
![](https://static.republika.co.id/uploads/images/widget_box/rusdy_210120132312-629.jpg)
Oleh : Rusdy Nurdiansyah/Jurnalis Republika
REPUBLIKA.CO.ID, Makan malam tiba. Aku bersama reporter Republika, Husni Arifin, serta wartawan nasional lainnya, salah satunya wartawan senior RCTI Ersa Siregar yang akrab aku sapa Bang Ersa, menuju tempat kuliner Rex yang cukup populer di Kota Lhokseumawe, Nanggroe Aceh Darussalam (NAD). Kami berangkat dari tempat menginap di Hotel Vina Vira.
Jarak dari hotel yang berada di depan markas Komando Operasi (Koops) TNI ke Rex cukup dekat. Cukup ditempuh dengan berjalan kaki sekitar dua menit saja.
Saat tiba, tatapan mata puluhan wartawan lainnya yang sedang makan malam di Rex tertuju pada rombongan kami. Lalu, kami saling menyapa dengan puluhan wartawan nasional yang baru tiba di Kota Lhokseumawe.
Mereka sedang menikmati makan malam bersama Wakil Panglima Koops (Pangkoops) TNI, Brigjen Bambang Darmono, dan juru bicara Koops TNI, Letkol Ahmad Yani Basuki. Di antara mereka, ada dua rekan dari Republika yakni Amin Madani (fotografer) dan Mohammad Akbar (reporter). Aku dan Husni menyempatkan menyapa dan berbincang sebentar dengan Amin dan Akbar.
Kemudian, aku dan Husni mengambil posisi bergabung kembali bersama Bang Ersa, Fery Santoro (kameramen RCTI), Buyung (fotografer Jawa Post), Ahmad Ibrahim (fotografer AP), serta beberapa reporter dan fotografer lainnya.
Republika menerjunkan dua tim untuk meliput langsung pemberlakuan Darurat Militer (DM) Aceh pada 19 Mei 2003. Aku sebagai fotografer bersama Husni telah terlebih dahulu tiba di Aceh pada 15 Mei 2003 yang bertugas memantau situasi dan kondisi yang saat itu bernama Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, serta Gerakan Aceh Merdeka (GAM). Sedangkan Amin dan Akbar bertugas meliput persiapan dan kegiatan TNI selama diberlakukannya DM Aceh dan tiba di Aceh bersama Dinas Penerangan (Dispen) TNI dan rombongan wartawan nasional lainnya pada 18 Mei 2003.
DM Aceh ditetapkan melalui keputusan resmi Presiden Megawati melalui Keppres Nomor 28 Tahun 2003 yang mulai diberlakukan pada 19 Mei 2003 hingga enam bulan ke depan. Izin operasi penumpasan GAM saat itu dimanfaatkan TNI dengan menerjunkan 50 ribu pasukan yang terdiri atas Angkatan Darat (AD), Angkatan Laut (AL), dan Angkatan Udara (AU), serta pasukan Brimob Polri. Sedangkan, di pihak GAM diperkirakan hanya memiliki 2.500 pasukan bersenjata.
TNI juga mengikutsertakan puluhan wartawan nasional yang sebelumnya dilatih pengetahuan dan pelatihan dasar militer di Pusat Latihan TNI Sanggabuana, Karawang, Jawa Barat (Jabar). TNI sepertinya ingin mencontoh tentara Amerika Serikat (AS) dengan melibatkan wartawan saat menyerang Irak pada 19 Maret 2003 dengan istilah "embedded journalist".
Bahkan, TNI juga mewajibkan para jurnalis 'binaannya' untuk mengenakan rompi militer selama meliput. Tentu, jaminan keselamatan dan tegaknya Negara Kesatuan Republik Indonesia (NRI) yang dijadikan alasan. Jadilah guyonan, ada cap wartawan NKRI dan cap wartawan GAM.
![photo](https://static.republika.co.id/uploads/images/headline_slide/wartawan-republika-rusdy-nurdiansyah-usai-menghadiri-parade-ratusan-pasukan_210217102830-810.jpg)
Tuduhan sebagai wartawan GAM melekat pada wartawan yang kerap bolak-balik ke markas GAM. Setidaknya itu juga melekat pada aku dan Husni. Pada 4 Desember 2002, aku pernah meliput milad GAM di markas Panglima GAM wilayah Batee Ileik Teuku Darwis Jeunib.
Jelang diberlakukannya DM Aceh, pada 18 Mei 2003, aku bersama Husni beserta beberapa wartawan nasional masuk ke markas GAM bertemu Panglima GAM wilayah Batee Ileik Teuku Darwis Jeunib. Kami menyaksikan parade ratusan pasukan Tentara Nasional Aceh (TNA) GAM bersenjata laras panjang jenis AK-47 dan puluhan senjata pelontar roket. Teuku Darwis Jeunib juga menyatakan kesiapannya melakukan perang gerilya menghadapi TNI.
Aku bersama fotografer Jawa Pos, Buyung, juga pernah terjebak dalam kontak senjata TNA dan TNA GAM dengan pasukan Brimob di markas GAM di kawasan Beureunuen. Pasukan Brimob mengamuk dan membakari rumah-rumah penduduk sipil di perkampungan.
Tak hanya itu, aku bersama Bang Ersa dan rekan-rekan wartawan nasional lainnya juga pernah terjebak kontak senjata TNI dan TNA GAM di kawasan Culeegle. "Cari posisi yang aman, keselamatan yang peting. Peluru nggak kenal wartawan," teriak Bang Ersa mengingatkan aku dan teman-teman fotografer yang tak kenal rasa takut asyik mengabadikan terjadinya baku tembak.
Tak hanya berlari agak menunduk dan tiarap, mengambil posisi yang baik untuk membidikan kamera, tapi aku juga melaporkan langsung aksi tembak menembak ke Radio Gen FM yang menjadi tugas tambahan. Republika dan Radio Gen FM merupakan satu grup di bawah bendera Mahaka Media.
Suasana pagi, di depan markas Koops TNI Lhokseumawe, 19 Mei 2003, pukul 08.00 WIB. Wakil Pangkoops Brigjen Bambang Darmono memberi briefing ke para wartawan 'binaannya'. Sedangkan aku, Husni, dan Bang Ersa serta teman wartawan lainnya asyik menikmati sarapan sambil ngegosip dan 'tertawa kecil' melihat para wartawan rombongan TNI berbaris dengan seragam militer.
Usai briefing, Brigjen Bambang Darmono dengan kesal menghampiri kami. "Sudah ada mandat, secepatnya TNI akan tumpas GAM. Targetnya, satu anggota TNI untuk 10 anggota GAM," tegasnya.
"Nggak mudah, saya nggak yakin komandan. Mungkin yang terjadi sebaliknya," ujar Bang Ersa menjawab berseloroh.
Kemudian, Brigjen Bambang Darmono meminta kami mengurus izin meliput operasi militer ke Penguasa Darurat Militer Daerah (PDMD) yang ada di Banda Aceh. Aku menghampiri rekan Amin dan Akbar, memberitahu sebaiknya tidak menggunakan rompi militer saat meliput karena berbahaya dan berpotensi menjadi sasaran tembak GAM.
Aku dan Amin juga berdiskusi untuk berbagi tugas, karena informasinya akan ada pendaratan pasukan tank amfibi Marinir di Pantai Samalanga dan kedatangan pasukan Marinir di Pelabuhan Krueng Geukue. Aku memilih ke Pantai Samalanga.
Hanya tujuh jam setelah diumumkannya status DM Aceh, dua batalyon Pasukan Pemukul Reaksi Cepat (PPRC) langsung didaratkan lewat udara dan laut sebagai pembuka operasi terpadu di Aceh. Sebanyak 468 personel Batalyon Infanteri Lintas Udara 502 Kostrad diterjunkan dengan enam pesawat Hercules dan mendarat di Pangkalan Udara TNI AU (Lanud) Malikus Saleh Lhokseumawe dan Lanud Iskandar Muda Blang Bintang Banda Aceh. Lalu, satu Batalyon Tim Pendarat-1 Amfibi Marinir asal Surabaya, Jawa Timur, mendarat di Pantai Samalanga, Bireuen.
Aku dan beberapa fotografer tiba di Pantai Samalanga. Tampak puluhan anggota Komando Pasukan Khusus (Kopassus) TNI AD sedang menyisir kampung untuk mengamankan pantai. Dari kejauhan 2,5 mil dari lepas pantai, tampak puluhan tank amfibi Marinir menuju pantai diikuti pendaratan ratusan prajurit Marinir dengan perahu karet.
Tak menyia-nyiakan momen, aku langsung membidikkan kamera ke tank-tank amfibi yang hendak mendarat dan pasukan Kopassus yang mengamankan pantai. Tiba-tiba seorang prajurit Kopassus menyapa aku. "Abang wartawan Republika ya," tanyanya.
"Iya," jawabku. "Kita pernah kenal dimana," tanyaku.
"Aku adiknya Pak Wahyu, teman abang di Republika," jawabnya. "Abang aman, saya jagain," lanjut prajurit Kopassus yang memperkenalkan diri berama Bayu.
Pak Wahyu merupakan ajudan Dirut Republika, Erick Thohir.
Aku kemudian melanjutkan memotret momen-momen menarik, saat gelombang kedua pendaratan puluhan tank amfibi keluar dari lambung tiga kapal perang, KRI Teluk Langsa, KRI Teluk Ende, dan KRI Teluk Sampit. Tank-tank amfibi tersebut mendapat kawalan ketat ratusan pasukan Marinir di sekoci dan perahu karet.
Bidikan kamera terfokus ke dua amfibi dan satu perahu karet yang terbalik dihantam gelombang laut yang tiba-tiba meninggi hingga dua meter disertai angin kencang menjelang tiga meter mengapai pantai. Diduga tujuh Marinir tewas dalam kecelakaan tersebut. Sedangkan, pihak Koops TNI menyatakan hanya satu tank dan satu perahu karet yang terbalik. Korban tewas hanya satu prajurit dan satu luka-luka.
Sebanyak 1.300 marinir dan 30 tank amfibi berhasil mendarat di Pantai Samalanga setelah 11 hari terkatung-katung di tiga kapal perang tanpa kepastian. Jadi tak heran, ribuan parjurit Marinir tersebut terlihat letih dan kumal dengan sebagian berambut gondrong. Selama pendaratan, tidak ada gangguan sedikit pun dan tak ada satu butir peluru GAM pun dilepas.
Selanjutnya, aku dan fotografer lainnya kembali ke hotel untuk mengirimkan hasil foto terbaiknya secepatnya ke kantor masing-masing.
Pihak GAM menginformasikan ke kami, telah terjadi kontak tembak dengan TNI di Matang Kumbang, Peusangan. Sebanyak tujuh anggota TNI tewas dan tujuh lain luka-luka dan dua anggota GAM tewas. Baku tembak ini tercatat paling banyak menelan korban di pihak TNI/Polri sejak diberlakukan DM Aceh.
![photo](https://static.republika.co.id/uploads/images/headline_slide/tentara_210217102401-352.jpg)
"Kami harap wartawan menulis dalam kerangka NKRI. Dilarang mengutip dari sumber GAM dan kami siapkan siaran pers setiap harinya. Kalau kami terkesan keras, harap dimaklumi, karena ini sudah aturan darurat militer. Tidak ada pertanyaan," tegas Brigjen Bambang Darmono kepada kami.
"Ternyata nggak mudah ya komandan," celetuk Bang Ersa.
Esoknya, aku dan Husni beserta beberapa wartawan bertolak ke Banda Aceh untuk mengurus izin ke PDMD. Beberapa wartawan asing dari Australia, Jepang, dan Korea juga ikut mengurus izin. Setelah mendapatkan izin, kami kembali ke Lhokseumawe, ikut serta dalam rombongan mobil, wartawan Australia, John Oshea, yang khusus meliput embedded journalist.
Lima hari DM Aceh berlangsung, tak ada tanda-tanda TNI dengan mudah memberantas GAM. Korban pun berjatuhan dari pihak sipil, TNI, dan GAM. Bahkan, perlawanan TNA GAM semakin sengit.
TNI semakin gamang karena GAM kerap mendapat porsi pemberitaan dari kami. Hal itulah yang membuat TNI mengawasi ketat gerakan kami. Karena ketidayamanan itu, aku bersama rekan-rekan fotogafer memilih pindah hotel ke sebuah penginapan yang cukup jauh dari markas Koops TNI. Sejak itu, aku berpisah dengan Husni dan Bang Ersa serta rekan-rekan reporter lainnya.
Saat dalam perjalanan mencari informasi kontak senjata, kami melihat tujuh mobil panser dan dua tank yang diikuti dua mobil truk reo yang penuh dengan pasukan TNI konvoi melaju ke Lanud TNI AU Malikus Saleh Lhokseumawe. Berpikir akan ada kontak senjata, kami kemudian mengikuti konvoi tersebut.
Konvoi yang kami ikuti ternyata rombongan Kasad Jenderal Ryamizard Ryacudu yang hendak menyambut kedatangan dua kompi pasukan Rider TNI AD yang tiba dengan pesawat Hercules dari Jakarta.
Awalnya biasa-biasa saja, tak ada yang aneh dan curiga dengan kehadiran kami yang asyik mengambil foto dalam acara penyambutan dan pembekalan semangat prajurit Raider TNI AD yang akan diterjunkan di medan perang.
"Ada pemberontak di Aceh. Tumpas sampai ke akar-akarnya. Percaya dan yakinlah. Tugas perang ini direstui seluruh rakyatmu!" perintah Kasad dengan lantang yang disambut serentak teriakan siap dari ratusan parjurit. "Siap Jenderal!"
"Genderang perang sudah ditabuh, tidak ada negosiasi untuk pemberontak. Prajurit sejati berperang untuk keutuhan negaranya. NKRI harga mati," lanjut Kasad berapi-api yang kembali disambut serentak ratusan prajurit. "Siap Jenderal! NKRI harga mati!"
"TNI lebih hebat dari tentara Amerika. TNI berperang untuk menang. GAM itu penghianat jadi tak boleh ada GAM yang tertangkap, tapi...," tegas Kasad yang langsung disambut ratusan prajurit dengan teriakan, "Mati!"
Tiba-tiba Kasad menghentikan orasinya. Beberapa Provost TNI AD menghampiri dan mengiring kami untuk keluar dari lokasi acara ke suatu ruangan dan meminta identitas kami. Tak lama kemudian, seorang jenderal bertubuh tinggi besar bernama Brigjen Koesmayadi ditemani seorang fotografer senior yang tak asing bagiku, Bang Agus Butarbutar (ABB), mendatangi kami.
"Kalian tidak diundang. Tak ada yang mengizinkan. Jadi saya minta tidak ada satupun berita pernyataan Kasad tadi," tegas Brigjen Koesmayadi.
Bang ABB yang memang dikenal fotografer di setiap kegiatan TNI berusaha menenangkan suasana dan meyakini tidak akan ada pemberitaan. "Mereka teman-teman saya komandan, saya jaminannya," ujar Bang ABB.
"Kalian telah melanggar aturan militer, tahan mereka," pinta Brigjen Koesmayadi ke anggota Provost TNI AD.
Bang ABB tak tinggal diam dan berusaha bernegosiasi dengan Brigjen Koesmayadi agar kami tidak ditahan. "Oke, kalian bebas, kecuali wartawan Republika, sebagai jaminan untuk ikut kunjungan kerja Kasad selama di Aceh," terang Brigjen Koesmayadi.
Aku kaget, kenapa mesti aku yang jadi jaminannya. Kemudian Bang ABB sambil tersenyum mendekatiku dan berbisik untuk bersedia mengikuti perintah Brigjen Koesmayadi. "Kau ikutin aja," tegas Bang ABB.
Aku akhirnya terpaksa mengiyakan dan berpisah dengan Buyung dan rekan-rekan fotografer lainnya. "Siap bang," ucapku.
![photo](https://static.republika.co.id/uploads/images/headline_slide/waaslog-kasad-brigjen-koesmayadi-kiri-dan-kasad-jenderal-ryamizard_210217102533-244.jpg)
Dari Lanud TNI AU Malikus Saleh Lhoksehmawe, aku 'diculik' untuk ikut rombongan kunjungan kerja Kasad Jenderal Ryamizard Ryacudu menempuh jalan darat menuju Banda Aceh. Ada tujuh panser yang membawa rombongan yang dikawal dua truk reo berisi pasukan TNI AD.
Panser terdepan diisi pasukan tempur TNI AD. Panser kedua diisi Kasad Jenderal Ryamizard Rycudu bersama Pangkostrad Letjen Bibit Waluyo dan Bang ABB serta dua orang pengawal Kasad.
Aku bersama Brigjen Koesmayadi dan satu orang kameramen SCTV dan dua anggota TNI di panser ketiga. Sedangkan, panser selanjutnya diisi para jenderal lainnya. Satu truk reo TNI AD berada paling belakang konvoi.
Selama perjalanan, Brigjen Koesmayadi memamerkan senjata laras panjang buatan Amerika Serikat (AS), M-16 dengan berwarna crome yang ditentengnya. Lalu, menceritakan kelebihan senjata serbu tersebut dibandingkan senjata serbu buatan Rusia, AK-14.
"Kalau kita diserang GAM, kita berhenti dan sikat balik, sekalian aku coba kemampuan senjata ini," ujar Brigjen Koesmayadi berapi-api.
"Siap komandan," ucapku menanggapi.
Tak lama kemudian, suara tembakan terdengar dari luar, tang, tang, tang menghujani bodi panser. Terdengar di radio HT, "Kita diserang, balas tembakan dan jalan terus, tambah kecepatan." Dua anggota TNI dengan sigap langsung menutup jendela panser.
Brigjen Koesmayadi langsung mengambil posisi menunduk. Naluri wartawan justru sebaiknya, aku dan kameramen SCTV langsung berdiri dengan kamera siap membidik ke arah luar dengan berusaha membuka jendela panser, namun dengan cepat kami dilarang. "Jangan dibuka, bahaya kalau ada peluru yang masuk, peluru akan mental ke mana-mana," jelas seorang prajurit TNI.
"Jenderal, kita nggak berhenti dan serang balik?" tanyaku ke arah Brigjen Koesmayadi.
"Kau nggak dengar, kita diperintahkan untuk terus jalan, kita lagi kawal panglima!" jawab Brigjen Koesmayadi kesal.
Hanya berlangsung 15 detik, tembakan dari anggota GAM tak terdengar lagi. Brigjen Koesmayadi yang tadinya menunduk setengah bertiarap kembali ke posisi tempat duduknya.
"Nyali kau boleh juga, aku suka. Tapi, jangan konyol," kilah Brigjen Koesmayadi ke arahku sambil menepuk-nepuk pundakku.
Satu jam berlalu, tiba di Kota Sigli, konvoi rombongan Kasad berhenti, beristirahat dan bermalam di markas Kodim 0102/Pidie.
Esoknya, pada 26 Mei 2003, setelah memeriksa kesiapan pasukan TNI AD di markas Kodim 0102/Pidie, rombongan Kasad konvoi melanjutkan perjalanan menuju Kota Banda Aceh yang ditempuh dalam waktu 2,5 jam.
Tidak ada gangguan berarti selama perjalanan, konvoi panser mulus berjalan dipancu dengan kecepatan rata-rata 90 km/jam. Goncangan di dalam saat panser melaju tak begitu terasa, hingga tiba di Kota Banda Aceh.
Kasad Jenderal Ryamizard Ryacudu langsung menggelar rapat dengan jajaran TNI Kodam Iskandar Muda di bawah komando Mayjen Endang Suwarya dan Korem Teuku Umar di bawah pimpinan Kolonel Gerhan Lantara. Setelah itu, Kasad melakukan inspeksi senjata dan pasukan TNI AD. Aku memotret momen-momen menarik kunjungan kerja Jenderal Ryamizard Ryacudu dan mengirim ke Republika sebagai foto berita.
Bermalam di Hotel Kuala Tripa, perjalanan dilanjutkan ke Pulau We Sabang dengan menggunakan kapal perang TNI AL. Hanya membutuhkan waktu tiga jam, tiba di Sabang, Kasad langsung melakukan inspeksi pasukan dan kelengkapan senjata prajurit TNI AD yang bertugas di Sabang.
![photo](https://static.republika.co.id/uploads/images/headline_slide/wartawan-republika-rusdy-nurdiansyah-bersama-komandan-kopassus-tni-ad_210217102614-384.jpg)
Bermalam di Sabang, Kasad Jenderal Ryamizard Ryacudu dijadwal akan melanjutkan kunjungan kerjanya ke Padang dan Medan. Aku menghampiri Bang ABB untuk minta izin kembali ke Banda Aceh. Bang ABB melaporkan hal tersebut ke Brigjen Koesmayadi. "Tidak dizinkan, kau harus ikut terus kunjungan kerja Kasad," ungkap Bang ABB.
Tidak ada pilihan, akhirnya aku ikut serta memasuki pesawat jet komersial bertuliskan TW atau Trans Wisata dari Lanud TNI AU Maimun Saleh Sabang menuju Padang. Hanya butuh waktu 20 menit tiba di Kota Padang. Tidak ada agenda khusus, kecuali istirahat semalam, dijamu makan malam dan menyantap durian.
Agenda kunjungan kerja dilanjutkan ke Medan. Kasad Jenderal Ryamizard Ryacudu memimpin upacara gelar pasukan TNI AD dan rapat koordinasi TNI AD dengan seluruh jajaran Kodam Bukit Barisan yang berlangsung hingga malam.
Esok paginya, tiba-tiba aku dipanggil Bang ABB untuk sarapan pagi satu meja bersama Kasad Jenderal Ryamizard Ryacudu. "Duduk sini Rus," ajak Kasad.
Kaget bercampur grogi karena tidak menyangka Kasad mengenali namaku. "Siap, jenderal," ucapku spontan.
"Silakan disantap, jangan sungkan," ujar Kasad dengan ramah.
"Siap, jenderal," ucapku lagi.
Sambil menyatap sarapan pagi yang didampingi Bang ABB di hotel yang terbilang mewah di Kota Medan, Kasad melontarkan beberapa pertanyaan. "Kau asli mana Rus?"
"Siap, jenderal. Ibu Aceh, bapak Palembang," jawabku.
Selanjutnya, kami berbicang-bincang cukup hangat dan ramah diselingi dengan senyum dan tawa. Kalimat yang dilontarkannya terstruktur dan tegas, berwawasan dengan penuh filosofi kebangsaan. Sirna semua yang ada di benakku kalau Jenderal Ryamizard Ryacudu sosok yang galak, berwajah sangar, dan pelit senyuman.
Aku pun mendapat wejangan yang berharga dari Jenderal Ryamizard Ryacudu bahwa loyalitas seorang wartawan harus berpihak kepada masyarakat yang memiliki etika dan rasa nasionalisme bukan sekadar untuk kepentingan bisnis.
"Rus, sekarang ada dua pilihan. Ikut kunjungan kerja saya ke Bali, kau bisa berlibur di sana atau kau kembali ke Aceh. Sekarang kau bebas," kata Kasad.
"Siap, Jenderal. Tugas saya di Aceh, jadi saya pilih kembali ke Aceh," tegasku menentukan pilihan.
Kemudian Kasad memanggil Brigjen Koesmayadi dan Pangdam Bukit Barisan Mayjen Tri Tamtomo. "Siapkan segala sesuatu apa yang diperlukan, kembalikan dia ke Lhokseumawe dengan selamat," ujar Kasad memberi perintah.
Usai pamit, Brigjen Koesmayadi menghampiriku. "Nyali kau, aku suka. Kalau selesai tugas di Aceh dan kembali ke Jakarta, temui aku di Mabesad," bisiknya.
Tengah malam, aku tiba di penginapan di Lhokseumawe yang hampir seminggu aku tinggalkan. Aku, Buyung, dan beberapa fotografer berbagi kisah. Aku menanyakan keberadaan Husni, tak satu pun mengetahui. Mereka bercerita, bagaimana suasana hubungan semakin tak kondusif dengan rekan-rekan wartawan yang bermarkas di Koops TNI.
Bahkan, informasi yang cukup tidak berperikemanusiaan, ada oknum wartawan yang seenaknya memerintah pasukan untuk merekonstruksi ulang penangkapan anggota GAM. Direkayasa disuruh lari, lalu beberapa anggota GAM yang jadi tawanan ditembak mati. Aku pun diminta ikut menandatangani surat petisi protes yang ditujukan ke Panglima TNI Jenderal Endriartono Sutarto.
Suasana yang tak kondusif dan situasi yang semakin tak aman bagi keselamatan wartawan. Pada 4 Juni 2003, Republika memutuskan mengakhiri tugasku di Aceh dan aku kembali ke Jakarta.
***
Pada 29 Juni 2003, beredar kabar wartawan RCTI Ersa Siregar dan juru kamera Ferry Santoro dilaporkan hilang di Kuala Langsa, Aceh Timur. Pada 2 Juli 2003, diberitakan Ersa dan Ferry, dua istri TNI Safrida dan Soraya, serta seorang sopir diculik pasukan GAM wilayah Peureulak, Aceh Timur di bawah pimpinan Ishak Daud.
![photo](https://static.republika.co.id/uploads/images/headline_slide/wartawan-senior-rcti-ersa-siregar-kanan-saat-ditahan_210217102456-157.jpg)
Pada 17 Mei 2004, enam wartawan menjadi penjamin bebasnya Fery Santoro, yakni Nani Afrida (The Jakarta Post), Imam Wahyudi dan Munir (RCTI), Nezar Patria (Tempo), Solahuddin (AJI), dan Husni Arifin (Republika).
Pada 8 September 2004, Panglima GAM wilayah Peureulak, Aceh Timur, Ishak Daud tewas di tembak TNI saat terjadi kontak senjata di gampoeng (kampung) Alue Nireh, Aceh Timur.
Pada 26 Desember 2004, bencana gempa dan tsunami meluluhlantakkan Aceh. Diperkirakan, korban tewas mencapai 220 ribu orang. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) yang baru dilantik mengantikan Megawati menetapkan gempa dan tsunami Aceh sebagai bencana nasional.
Presiden SBY lebih memilih Marsekal Joko Suyanto sebagai Panglima TNI daripada Jenderal Ryamizard Ryacudu pada 13 Februari 2006. Kemudian Jenderal Ryamizard Ryacudu diganti sebagai Kasad oleh Letjen Djoko Santoso yang sebelumnya menjabat sebagai Wakasad.
Konflik bersenjata yang cukup panjang berakhir, setelah GAM sepakat damai di Helsinki, Finlandia, 15 Agustus 2005, yang dikenal dengan Memorandum of Understanding (MoU) Helsinki.
Pada 10 Juli 2006, Komisi I DPR RI mempertanyakan ke Panglima TNI Marsekal Djoko Soeyanto adanya angkatan bersenjata lain, selain TNI AD, AL, AU, dan Polri. Menyusul ditemukannya 180 senjata api berbagai jenis dan alat peledak serta 28 ribu butir peluru dan puluhan granat di kediaman Waaslog Kasad Brigjen Koesmayadi.
Di usia 53 tahun, Brigjen Koesmayadi meninggal dunia mendadak di kediamannya di Cibubur pada 25 Juni 2006. Banyak rumor beredar lulusan Akmil 1975 ini meninggal karena diracun. Namun, Kasad Jenderal Djoko Santoso membantah dan menyatakan Brigjen Koesmayadi meninggal akibat serangan jantung.
sumber:
https://republika.co.id/berita/qonlvo438/darurat-militer-aceh-diculik-jenderal
Komentar
Posting Komentar