Berikut ini adalah kronologi kejadian penting Aceh
4
Desember 1976:
Sekelompok tokoh masyarakat membentuk "Gerakan Aceh
Merdeka" (GAM), atau Gerakan Aceh Merdeka, yang dipimpin oleh Hasan
Tiro, keturunan sultan-sultan Aceh, dan menyatakan kemerdekaan.
1989
- Agustus 1998:
Presiden Soeharto memberlakukan Daerah Operasi Militer,
yang dikenal sebagai DOM dengan akronim bahasa Indonesia, untuk
menghancurkan pemberontakan di Aceh.
7
Agustus 1998:
Tentara Nasional Indonesia (TNI) Jenderal Wiranto Kepala
berakhir status DOM di Aceh tiga bulan setelah Soeharto lengser dan
digantikan oleh wakilnya Bacharuddin Jusuf Habibie.
Maret
1999:
Presiden Habibie mengunjungi Aceh dan meminta maaf karena
kekejaman yang dilakukan oleh militer, menjanjikan pembebasan tahanan
politik di provinsi ini.
22
September 1999:
Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) sahkan UU otonomi khusus
Aceh, yang memberikan provinsi dengan hak untuk menerapkan hukum Islam
(Syariah).
12
Mei 2000:
The Henry Dunant Centre (HDC) broker pembicaraan antara
pemerintah di bawah Presiden Abdurrahman Wahid dan perwakilan GAM di
Jenewa, mengakibatkan Bersama Perjanjian tentang Jeda Kemanusiaan di
Aceh.
Januari 2001:
HDC lagi mengatur pertemuan bagi kedua belah pihak di Jenewa membahas pemilihan umum yang bebas di Aceh.
Maret
2001:
Di tengah bentrokan bersenjata terus di Aceh, kabinet Indonesia
secara resmi mengucapkan GAM sebagai gerakan separatis.
2-3 Februari, 2002: Presiden Megawati Soekarnoputri membuat upaya untuk melanjutkan pembicaraan dengan GAM.
08-09
Mei, 2002:
Pemerintah dan GAM bertemu di Jenewa dan menyetujui
pembicaraan lebih lanjut tentang status otonomi khusus untuk Aceh dan
bantuan kemanusiaan.
19 Agustus 2002:
Pemerintah memberi GAM tiga bulan untuk gencatan senjata dan menerima otonomi khusus.
9
Desember 2002:
Pemerintah dan GAM menandatangani Kesepakatan
Penghentian Permusuhan (COHA) dalam sebuah pertemuan yang ditengahi oleh
HDC. Berdasarkan
COHA, Militer Indonesia harus ofensif membatalkan dan pindah ke posisi
defensif dan anggota GAM meletakkan senjata mereka ke dalam penyimpanan.
Komite
Keamanan Bersama (JSC) dibentuk untuk memantau proses perdamaian, yang
terdiri dari perwakilan dari kedua belah pihak dan tim independen yang
terdiri dari petugas dari Thailand dan Filipina.
8 April 2003:
Presiden Megawati menuduh GAM gagal melucuti senjata dan perintah militer untuk mempersiapkan serangan di Aceh.
April
28, 2003:
Pemerintah memberikan ultimatum dua minggu untuk GAM untuk
mengakhiri perlawanan dan menerima otonomi khusus dalam kerangka Negara
Kesatuan Republik Indonesia. GAM menolak untuk melakukannya.
Mei
2003:
Amerika Serikat, Jepang dan Uni Eropa mendesak pemerintah
Indonesia dan GAM untuk menghindari bentrokan bersenjata dan melanjutkan
perundingan perdamaian di Tokyo.
16 Mei 2003:
Pemerintah menegaskan bahwa otonomi khusus adalah solusi akhir, jika GAM akan menghadapi serangan militer. Negosiator GAM tidak menjawab tuntutan dengan alasan bahwa pasangan mereka ditangkap di Aceh dalam perjalanan mereka ke Tokyo.
19
Mei 2003:
Presiden Megawati memberlakukan darurat militer di Aceh dan
menyatakan darurat militer untuk jangka waktu enam bulan. Pemerintah telah mengerahkan sekitar 30.000 tentara dan 12.000 polisi ke Aceh dan ofensif dimulai. Ini adalah operasi militer terbesar di Indonesia sejak pengerahan militer di Timor Timur pada tahun 1976.
6
November 2003:
Menteri Koordinator Bidang Politik dan Keamanan Susilo
Bambang Yudhoyono menegaskan darurat militer diperpanjang dengan
evaluasi bulanan untuk keputusan lebih lanjut apakah operasi militer
diperpanjang atau diperpendek.
Mei 2004:
Darurat Militer (DM) diubah menjadi darurat sipil.
26
Desember 2004:
Gempa bumi tsunami yang dipicu menyapu wilayah pesisir
Aceh, termasuk Banda Aceh, dan menewaskan sedikitnya 150.000 orang dan
meninggalkan banyak lagi tunawisma.
19
Januari 2005:
Menteri Luar Negeri Hassan Wirajuda mengatakan pemerintah
akan melanjutkan pembicaraan dengan GAM untuk mengembalikan stabilitas
keamanan dan politik di provinsi yang dilanda tsunami.
28-30
Januari, 2005:
Pemerintah dan GAM memulai babak baru perundingan di
Helsinki ditengahi oleh Finlandia berbasis Crisis Management Initiative.
Februari
2005:
Putaran kedua pembicaraan diadakan di Helsinki dengan GAM
menuntut pemerintahan sendiri dan partai politik eksklusif di Aceh.
April 12, 2005:
Pertemuan lain diselenggarakan di Helsinki antara pemerintah dan GAM.
18
Mei 2005:
Status Darurat di Aceh diubah menjadi urutan sipil biasa
untuk menciptakan keadaan yang menguntungkan untuk program rekonstruksi
pascabencana di Aceh.
MOHON TAMBAHAN NYA.....
Komentar
Posting Komentar