Operasi militer Indonesia di Aceh (disebut juga Operasi Terpadu oleh pemerintah Indonesia) adalah operasi yang dilancarkan Indonesia melawan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dimulai pada 19 Mei 2003
dan berlangsung kira-kira satu tahun. Operasi ini dilakukan setelah GAM
menolak ultimatum dua minggu untuk menerima otonomi khusus untuk Aceh
di bawah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Operasi ini merupakan operasi militer terbesar yang dilakukan Indonesia sejak Operasi Seroja
(1975), dan pemerintah mengumumkan terjadinya kemajuan yang berarti,
dengan ribuan anggota GAM terbunuh, tertangkap, atau menyerahkan diri. Operasi ini berakibat lumpuhnya sebagian besar militer GAM, dan bersama dengan gempa bumi dan tsunami pada tahun 2004 menyebabkan berakhirnya konflik 30 tahun di Aceh.
Pada 28 April 2003,
pemerintah Indonesia memberikan ultimatum untuk mengakhiri perlawanan
dan menerima otonomi khusus bagi Aceh dalam waktu 2 minggu. Pemimpin GAM
yang berbasis di Swedia menolak ultimatum tersebut, namun Amerika Serikat, Jepang, dan Uni Eropa mendesak kedua pihak untuk menghindari konflik bersenjata dan melanjutkan perundingan perdamaian di Tokyo.
Pada 16 Mei 2003,
pemerintah menegaskan bahwa otonomi khusus tersebut merupakan tawaran
terakhir untuk GAM, dan penolakan terhadap ultimatum tersebut akan
menyebabkan operasi militer terhadap GAM. Pimpinan dan negosiator GAM
tidak menjawab tuntutan ini, dan mengatakan para anggotanya di Aceh
ditangkap saat hendak berangkat ke Tokyo.
Selepas tengah malam pada 18 Mei 2003 Presiden Megawati Sukarnoputri memberikan izin operasi militer melawan anggota separatis.
Ia juga menerapkan darurat militer di Aceh selama enam bulan.
Pemerintah Indonesia menempatkan 30.000 tentara dan 12.000 polisi di
Aceh.
Pada bulan Juni, pemerintah mengumumkan niat mereka untuk mencetak
KTP baru yang harus dibawa semua penduduk Aceh untuk membedakan
pemberontak dan warga sipil. LSM-LSM
dan lembaga bantuan diperintahkan untuk menghentikan operasinya dan
meninggalkan wilayah tersebut.
Pada bulan Mei 2004, darurat militer di Aceh diturunkan menjadi darurat sipil. Menko Polkam ad interim Indonesia Hari Sabarno mengumumkan perubahan ini setelah rapat kabinet 13 Mei 2004. Pemerintah mengumumkan terjadinya kemajuan yang berarti, dan ribuan anggota GAM terbunuh, tertangkap dan menyerahkan diri.
Sekalipun darurat militer telah dihentikan, operasi-operasi militer
terus dilakukan oleh TNI. Diperkirakan 2.000 orang terbunuh sejak Mei
2003.
TNI mengatakan kebanyakan korban adalah tentara GAM, namun
kelompok-kelompok HAM internasional dan setempat, termasuk komisi HAM
pemerintah, menemukan bahwa sebagian besar korban adalah warga sipil.
Bukti menunjukkan bahwa TNI sering tidak membedakan antara anggota GAM
dan non-kombatan. Penyelidikan-penyelidikan juga menemukan GAM turut
bersalah atas kebrutalan yang terjadi di Aceh.
Para pengungsi Aceh di Malaysia melaporkan adanya pelanggaran yang
luas di Aceh, yang tertutup bagi pengamat selama operasi militer ini. Pengadilan terhadap anggota militer Indonesia dianggap sulit dilakukan,
dan pengadilan yang telah terjadi hanyalah melibatkan prajurit
berpangkat rendah yang mengklaim hanya menjalankan perintah.
Komentar
Posting Komentar