Innalilillahiwainnailaihirajiun. Semua milik Allah, dan hanya kepadaNya semua makhluk akan kembali!
Cuaca di Banda Aceh
tak sepanas biasanya. Kamis (3/6), langit Aceh begitu teduh, damai,
mendung meski tak turun hujan. Kondisi ini mengingatkan kita kejadian
pada 22 Januari 2001 silam, saat Teungku Abdullah Syafie meninggal
dunia, di mana alam Aceh begitu damai, seperti tak terjadi apa-apa.
Kini, kondisi yang sama juga terulang. Alam seperti memberi tanda bahwa
Aceh kembali kehilangan seorang tokoh berpengaruh. Dan tepat pukul 12.15
WIB, Teungku Hasan Tiro, pria yang dikenal Wali Nanggroe
menghembuskan nafas terakhir di Rumah Sakit Umum Zainal Abidin (RSUZA)
setelah sekian lama berjuang melawan penyakit yang dideritanya.
Pelayat berdoa untuk (Alm) Tgk Hasan Tiro/Suparta |
Baginya, Aceh tak cukup hanya sekadar dinikmati melalui siaran televisi, tulisan-tulisan para jurnalis di media
maupun dari informasi yang disampaikan pengikutnya. Negeri Aceh yang
dibelanya adalah sesuatu yang nyata. Bukan ilusi, bukan dongeng. Hasan
Tiro ingin menikmatinya secara nyata pula, seperti yang pernah
dilakukannya ketika memutuskan kembali ke Aceh, untuk mengobarkan perang
demi sebuah kehormatan.
Kepulangan Wali ke Aceh, seperti ditulisnya dalam The Price of Freedom: the Unfinished Diary of Teungku Hasan di Tiro,
adalah untuk “Memimpin rakyat dan Negara.” Hasan Tiro menulis catatan
stensilan setebal 238 halaman itu penuh emosional, yang didedikasikan
sebagai persiapan menjelang kematiannya: syahid.
Hasan
Tiro sangat terinspirasi oleh tulisan-tulisan Friedrich Nietzsche,
filsuf Jerman yang paling banyak disalahpahami. Di bagian awal Diary-nya
yang belum selesai itu, Hasan Tiro mengakui, langkah politik yang
dipilihnya sangat dipengaruhi oleh filsuf Eksistensial Jerman itu. Hal
itu, yang membuatnya kemudian tak bisa mengelak: “Aku berdiri sebelum puncak akhir sekarang dan sebelum itu telah tersimpan terlalu lama untukku.”
Kata-kata
retorik dalam The Spoke Zarathustra-nya Nietzsche seperti dikutip di
awal tulisan ini, menegaskan betapa kuat keinginan cucu Teungku Chik Di
Tiro ini menggapai cita-cita “memimpin rakyat dan Negara saya”. Kemudian diikuti pengikutnya dengan patuh:
“Kepadamu tidak kuajarkan kerja, tapi peperangan.
Kepadamu tidak kuajarkan damai, tapi kemenangan.
Jadikan kerja untuk perang, jadikan damai untuk menang.”
Aceh kini memang
tak seperti yang dicita-citakan, tapi Tiro sudah meletakkan dasar yang
kokoh, untuk generasi penerusnya. Memang, pondasi yang dibangunnya tidak
‘selesai’ sama halnya seperti Diary yang ditulisnya tahun 1984 silam.
Wajar
saja, kematian ‘sang revolusioner’ ini ditangisi. Ribuan orang melayat
hingga ke pemakaman terakhir, di samping makam kakeknya, Teungku Chik Di
Tiro di Meureu, Indrapuri. Kepergian penulis ‘Demokrasi untuk Indonesia’
buat selamanya tentu saja sebuah kehilangan. Sebab, belum tentu dalam
rentang 10-100 tahun mendatang di Aceh bakal lahir sosok secerdas,
se-militan dan se-kontroversial dirinya. Butuh penantian panjang agar
Aceh bisa melahirkan tokoh yang pengaruhnya demikian besar.
Tapi, warisan yang ditinggalkannya dan
tersebar di sejumlah buku bisa menjadi sebuah kisah besar yang akan
mengubah sejarah, bukan hanya sejarah Aceh melainkan sejarah perlawanan
di manapun juga. Wali sudah mengajarkan soal
bagaimana seharusnya sebuah gerakan dibangun, meski pada akhirnya tak
ada yang mampu meneruskannya. Pengorbanannya meninggalkan istri cantik dan anak semata wayang yang cerdas, tak pernah disesalkan.
Kisah-kisah
itu hingga kini belum selesai. Dan memang tidak akan selesai, kecuali
lahir generasi yang memiliki intelektualitas, keteguhan sikap dan
keberanian seperti ditunjukkan Tiro sepanjang hidupnya.
Tiro bisa jadi lupa bahwa zaman yang dilalui ini hanya melahirkan orang-orang kerdil. Seperti
sering disebut Mohammad Hatta (1902-1980), zaman besar hanya melahirkan
orang-orang kerdil. Aceh hari ini, setidaknya menjadi representasi
tesis mantan Wakil Presiden Indonesia itu. Kisah heroik perjuangan Hasan
Tiro, hanya tinggal kenangan.
Generasi
sesudahnya, tak mampu berbuat lebih hebat lagi. Mazhab Tiro yang
membentuk sebuah letusan di alam Aceh seperti sudah berhenti pada satu
titik; stagnan.
Padahal, Tiro sudah memulainya dengan narasi hebat: ka
ulôn susôn keu ureuëng muda dan aneuk dara Atjèh bak watèë njoë,
sibagoë saboh tutuë njang peusambông masa njang ka u likôt deungon masa
ukeuë, sibagoë seunambông taloë njang ka putôh deungon masa djameun,
supaja ureuëng muda Atjèh, agam dan inong, geupham keulai pakriban dônja
njang ka geupeudong Ié éndatu, pakriban keumuliaan njang ka
geuteumeung, dan pakriban bak watèë njan geutanjoë Atjèh gob thèë na ban
saboh dônja’.
Obsesinya
begitu kuat, dan seperti bisa kita simak dalam buku-bukunya, Hasan Tiro
sedang tidak membual. Karena itu, dia rela tinggalkan semua kemewahan
hidup, dan memilih memimpin gerilya di hutan-hutan Aceh yang sunyi.
Tak berhenti di situ, sebagai seorang ideolog, Wali memilih diksi dalam pidato maupun tulisan-tulisannya bagaimana sebuah pesan disampaikan dengan tepat untuk merangsang emosi pendengar: Pakriban
geutanjoë atjèh tangiëng droëteuh? Njoë keuh saboh sueuë njang rajek
that keu geutanjoë bansa Atjèh bak masa njoë, njang wadjéb tapham uroë
dan malam. Sabab bak djeunaweuëb geutanjoë ateuëh sueuë njoë meugantung
nasib bandum geutanjoë bak masa njoë, nasib keuturônan bak masa ukeuë,
dan nasib Nanggroë Atjèh njoë ateuëh rhuëng dônja.”
Melalui
doktrin itu, nasionalisme Aceh yang puluhan tahun kehilangan tuahnya,
seperti hidup kembali. Dan, di puncak Gunung Halimon, Pidie, 4 Desember
1976, ideologi pembebasan kian mengkristal, saat
Gerakan Aceh Merdeka diproklamirkan. Gerakan yang dibangun Hasan Tiro
tersebut, jelas berbeda dengan DI/TII yang dimotori Tgk Daud Beureu’eh.
Jika gerakan Daud Beureu’eh masih berpijak dalam bingkai RI, maka
Gerakan Hasan Tiro mencoba mengubah Aceh menjadi sebuah Negara
tersendiri yang terpisah dari Indonesia seperti sebelumnya. Bagi Hasan
Tiro, Aceh tak memiliki hubungan apapun dengan Indonesia. Menurutnya,
Aceh hanya memiliki permasalahan dengan Belanda. Karena itu ada tuntutan
agar Belanda mencabut maklumat perang dan memulihkan kedaulatan Aceh
seperti sediakala.
Hasan Tiro benar, saat mengatakan: The free man is a warrior. Orang yang merdeka adalah seorang pejuang.
Menurutnya, kebebasan berarti kita menjaga jarak yang memisahkan kita dari orang lain; kebebasan berarti bahwa kita tidak lagi takut pada kesedihan,
kesulitan, penderitaan atau kematian: ia yang telah belajar bagaimana
mati tidak bisa lagi menjadi seorang budak atau seorang subjek kolonial. Dia yang ingin menjadi bebas selalu harus siap untuk berperang dan mati untuk kebebasannya.
Hasan Tiro membuktikannya. Bahwa nilai suatu hal tidak tergantung oleh apa yang dapat kita lakukan dengannya, tetapi dari harga apa yang ingin kita bayar untuknya.Selamat jalan Wali, meski kisahmu belum selesai, generasi Aceh sudah paham pada kisah sepenggal itu. Tinggal mereka melakukannya atau tidak! (HA 040610)
sumber : http://jumpueng.blogspot.com
Las Vegas Casino - JT Hub
BalasHapusLas Vegas Casino. Las Vegas, NV, United States 광주 출장안마 - 논산 출장마사지 See map. Wynn & Encore Las Vegas Casino is 인천광역 출장마사지 an all-suite resort featuring 파주 출장안마 a full-service spa, a 대구광역 출장마사지 casino, and a full-service