Langsung ke konten utama

IN MEMORIAM HASAN TIRO


Innalilillahiwainnailaihirajiun. Semua milik Allah, dan hanya kepadaNya semua makhluk akan kembali! 

Cuaca di Banda Aceh tak sepanas biasanya. Kamis (3/6), langit Aceh begitu teduh, damai, mendung meski tak turun hujan. Kondisi ini mengingatkan kita kejadian pada 22 Januari 2001 silam, saat Teungku Abdullah Syafie meninggal dunia, di mana alam Aceh begitu damai, seperti tak terjadi apa-apa. Kini, kondisi yang sama juga terulang. Alam seperti memberi tanda bahwa Aceh kembali kehilangan seorang tokoh berpengaruh. Dan tepat pukul 12.15 WIB, Teungku Hasan Tiro, pria yang dikenal Wali Nanggroe menghembuskan nafas terakhir di Rumah Sakit Umum Zainal Abidin (RSUZA) setelah sekian lama berjuang melawan penyakit yang dideritanya.

Pelayat berdoa untuk (Alm) Tgk Hasan Tiro/Suparta
Kematian memang tak bisa ditolak siapa pun. Tidak juga oleh sosok pria kelahiran Tanjung Bungong 83 tahun silam ini. Hasan Tiro sudah memenuhi janji TuhanNya, bahwa kematian adalah sesuatu yang pasti. Selain itu, Hasan Tiro juga memenuhi keinginannya sendiri untuk meninggal dan dikuburkan di tanah leluhur. Beliau tidak memilih kembali ke Swedia, Negara yang sudah memberinya kewarganegaraan.

Baginya, Aceh tak cukup hanya sekadar dinikmati melalui siaran televisi, tulisan-tulisan para jurnalis di media maupun dari informasi yang disampaikan pengikutnya. Negeri Aceh yang dibelanya adalah sesuatu yang nyata. Bukan ilusi, bukan dongeng. Hasan Tiro ingin menikmatinya secara nyata pula, seperti yang pernah dilakukannya ketika memutuskan kembali ke Aceh, untuk mengobarkan perang demi sebuah kehormatan.

Kepulangan Wali ke Aceh, seperti ditulisnya dalam The Price of Freedom: the Unfinished Diary of Teungku Hasan di Tiro, adalah untuk “Memimpin rakyat dan Negara.” Hasan Tiro menulis catatan stensilan setebal 238 halaman itu penuh emosional, yang didedikasikan sebagai persiapan menjelang kematiannya: syahid.

Hasan Tiro sangat terinspirasi oleh tulisan-tulisan Friedrich Nietzsche, filsuf Jerman yang paling banyak disalahpahami. Di bagian awal Diary-nya yang belum selesai itu, Hasan Tiro mengakui, langkah politik yang dipilihnya sangat dipengaruhi oleh filsuf Eksistensial Jerman itu. Hal itu, yang membuatnya kemudian tak bisa mengelak: Aku berdiri sebelum puncak akhir sekarang dan sebelum itu telah tersimpan terlalu lama untukku.”

Kata-kata retorik dalam The Spoke Zarathustra-nya Nietzsche seperti dikutip di awal tulisan ini, menegaskan betapa kuat keinginan cucu Teungku Chik Di Tiro ini menggapai cita-cita “memimpin rakyat dan Negara saya”. Kemudian diikuti pengikutnya dengan patuh:

“Kepadamu tidak kuajarkan kerja, tapi peperangan.
Kepadamu tidak kuajarkan damai, tapi kemenangan.
Jadikan kerja untuk perang, jadikan damai untuk menang.”

Aceh kini memang tak seperti yang dicita-citakan, tapi Tiro sudah meletakkan dasar yang kokoh, untuk generasi penerusnya. Memang, pondasi yang dibangunnya tidak ‘selesai’ sama halnya seperti Diary yang ditulisnya tahun 1984 silam.  

Wajar saja, kematian ‘sang revolusioner’ ini ditangisi. Ribuan orang melayat hingga ke pemakaman terakhir, di samping makam kakeknya, Teungku Chik Di Tiro di Meureu, Indrapuri. Kepergian penulis ‘Demokrasi untuk Indonesia’ buat selamanya tentu saja sebuah kehilangan. Sebab, belum tentu dalam rentang 10-100 tahun mendatang di Aceh bakal lahir sosok secerdas, se-militan dan se-kontroversial dirinya. Butuh penantian panjang agar Aceh bisa melahirkan tokoh yang pengaruhnya demikian besar.

Tapi, warisan yang ditinggalkannya dan tersebar di sejumlah buku bisa menjadi sebuah kisah besar yang akan mengubah sejarah, bukan hanya sejarah Aceh melainkan sejarah perlawanan di manapun juga. Wali sudah mengajarkan soal bagaimana seharusnya sebuah gerakan dibangun, meski pada akhirnya tak ada yang mampu meneruskannya. Pengorbanannya meninggalkan istri cantik dan anak semata wayang yang cerdas, tak pernah disesalkan.

Kisah-kisah itu hingga kini belum selesai. Dan memang tidak akan selesai, kecuali lahir generasi yang memiliki intelektualitas, keteguhan sikap dan keberanian seperti ditunjukkan Tiro sepanjang hidupnya.

Tiro bisa jadi lupa bahwa zaman yang dilalui ini hanya melahirkan orang-orang kerdil. Seperti sering disebut Mohammad Hatta (1902-1980), zaman besar hanya melahirkan orang-orang kerdil. Aceh hari ini, setidaknya menjadi representasi tesis mantan Wakil Presiden Indonesia itu. Kisah heroik perjuangan Hasan Tiro, hanya tinggal kenangan. 
Generasi sesudahnya, tak mampu berbuat lebih hebat lagi. Mazhab Tiro yang membentuk sebuah letusan di alam Aceh seperti sudah berhenti pada satu titik; stagnan.

Padahal, Tiro sudah memulainya dengan narasi hebat: ka ulôn susôn keu ureuëng muda dan aneuk dara Atjèh bak watèë njoë, sibagoë saboh tutuë njang peusambông masa njang ka u likôt deungon masa ukeuë, sibagoë seunambông taloë njang ka putôh deungon masa djameun, supaja ureuëng muda Atjèh, agam dan inong, geupham keulai pakriban dônja njang ka geupeudong Ié éndatu, pakriban keumuliaan njang ka geuteumeung, dan pakriban bak watèë njan geutanjoë Atjèh gob thèë na ban saboh dônja’.

Obsesinya begitu kuat, dan seperti bisa kita simak dalam buku-bukunya, Hasan Tiro sedang tidak membual. Karena itu, dia rela tinggalkan semua kemewahan hidup, dan memilih memimpin gerilya di hutan-hutan Aceh yang sunyi.

Tak berhenti di situ, sebagai seorang ideolog, Wali memilih diksi dalam pidato maupun tulisan-tulisannya bagaimana sebuah pesan disampaikan dengan tepat untuk merangsang emosi pendengar: Pakriban geutanjoë atjèh tangiëng droëteuh? Njoë keuh saboh sueuë njang rajek that keu geutanjoë bansa Atjèh bak masa njoë, njang wadjéb tapham uroë dan malam. Sabab bak djeunaweuëb geutanjoë ateuëh sueuë njoë meugantung nasib bandum geutanjoë bak masa njoë, nasib keuturônan bak masa ukeuë, dan nasib Nanggroë Atjèh njoë ateuëh rhuëng dônja.”

Melalui doktrin itu, nasionalisme Aceh yang puluhan tahun kehilangan tuahnya, seperti hidup kembali. Dan, di puncak Gunung Halimon, Pidie, 4 Desember 1976, ideologi pembebasan kian mengkristal, saat Gerakan Aceh Merdeka diproklamirkan. Gerakan yang dibangun Hasan Tiro tersebut, jelas berbeda dengan DI/TII yang dimotori Tgk Daud Beureu’eh. Jika gerakan Daud Beureu’eh masih berpijak dalam bingkai RI, maka Gerakan Hasan Tiro mencoba mengubah Aceh menjadi sebuah Negara tersendiri yang terpisah dari Indonesia seperti sebelumnya. Bagi Hasan Tiro, Aceh tak memiliki hubungan apapun dengan Indonesia. Menurutnya, Aceh hanya memiliki permasalahan dengan Belanda. Karena itu ada tuntutan agar Belanda mencabut maklumat perang dan memulihkan kedaulatan Aceh seperti sediakala.

Hasan Tiro benar, saat mengatakan: The free man is a warrior. Orang yang merdeka adalah seorang pejuang.

Menurutnya, kebebasan berarti kita menjaga jarak yang memisahkan kita dari orang lain; kebebasan berarti bahwa kita tidak lagi takut pada kesedihan, kesulitan, penderitaan atau kematian: ia yang telah belajar bagaimana mati tidak bisa lagi menjadi seorang budak atau seorang subjek kolonial. Dia yang ingin menjadi bebas selalu harus siap untuk berperang dan mati untuk kebebasannya.

Hasan Tiro membuktikannya. Bahwa nilai suatu hal tidak tergantung oleh apa yang dapat kita lakukan dengannya, tetapi dari harga apa yang ingin kita bayar untuknya.Selamat jalan Wali, meski kisahmu belum selesai, generasi Aceh sudah paham pada kisah sepenggal itu. Tinggal mereka melakukannya atau tidak! (HA 040610)

Komentar

  1. Las Vegas Casino - JT Hub
    Las Vegas Casino. Las Vegas, NV, United States 광주 출장안마 - 논산 출장마사지 See map. Wynn & Encore Las Vegas Casino is 인천광역 출장마사지 an all-suite resort featuring 파주 출장안마 a full-service spa, a 대구광역 출장마사지 casino, and a full-service

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

BUKTI PENGKHIANATAN MALEK MAHMUD DAN ZAINI ABDULLAH CS.TERHADAP WALI

STATUS ACHEH DALAM NKRI* Penulis Yusra Habib abdul Gani.Dan sebelumnya saya minta maaf kana saya ingin menulis sedikit isi buku tersebut,tentang bagai mana saat saat penandatanganan MoU,karna kami di dalam nanggro masih banyak yang belum tau tentang cerita tersebut,mulai halaman,129, 130,131,132, 133,yang isinya sebagai berikut : Yang membuktikan bahwa Tengku Hasan di Tiro memang benar benar ditipu oleh staff terdekatnya. Itupun,setelah Fadlon Musa ( salah satu anggota GAM di Belanda )mendapat teks MoU Helsinki dari Arif Fadilah (salah seorang anggota GAM di Jerman )pada tgl.6 Agustus 2005.Arif Fadilah sendiri memperolehnya dari Teuku Hadi ( salah seorang anggota GAM di Jerman ) yang ikut magang beberapa kali ke Helsiki. Setelah membaca teks MoU Helsinki,Fadlon terkejut dengan kalimat :" The parties commit themselves creating within which the government of the Acehnese people can be manifested through a fair and democratic processs within the unitary state and consti...

SITUS SEJARAH MAKAM KUTA GLEE SAMALANGA TERBENGKALAI

Di bagian depan komplek masih berdiri plang bertuliskan Komplek Makam Teungku Kuta Gle dan Benteng Kuta Gle .    Komplek Makam Kuta Glee.@ATJEHPOSTcom/MS Sultan KOMPLEK makam pahlawan Teungku Kuta Glee di perbukitan Desa Batee Iliek, Kecamatan Samalanga, Bireuen tak terurus. Padahal makam tersebut situs sejarah dan bukti gigihnya pahlawan Aceh melawan Belanda. Pantauan ATJEHPOSTcom, komplek makam itu masih dipenuhi belukar. Kesan tidak ada perhatian dari dinas terkait begitu kentara. Bahkan, bangunan yang menutupi makam atapnya telah rusak, tertimpa cabang pohon asam jawa. Dahan pohon menimpa atap bangunan yang menutupi makam telah terlihat sejak beberapa bulan lalu. Sepertinya tidak ada warga atau peminat sejarah yang datang ke sana untuk memperbaiki bangunan tersebut. Supaya terlihat ada rasa kepedulian dari anak negeri. Makam itu dikelilingi pagar beton dengan jeruji, berbentuk persegi sekitar 30 x 30 meter. Beberapa bagian pagar itu juga terlihat rusak...

Mengenal Malik Mahmud, Sang Pemangku Wali (1)

Malik Khaidir Mahmud.  Demikianlah nama asli beliau. Seorang tokoh elit eks Gerakan Aceh Merdeka (GAM) yang dikenal dekat dengan Wali Nanggroe, Hasan Tiro. Tokoh yang satu ini memang sungguh unik, tertutup dan sangat berhati-hati dalam berbagai isu yang menyangkut akan latar belakang dan riwayat hidupnya. Sehingga tidak diperoleh catatan yang jelas apa dan siapa Malik Mahmud tersebut. Sementara itu, arah politik Aceh pasca penandatanganan MoU Helsinki, menjadikan tokoh ini begitu populer sebagai Perdana Menteri GAM yang “berhasil” membawa perdamaian ke Aceh melalui jalur politik. Hingga saat ini, tidak ada catatan yang jelas mengenai siapa sebenarnya Malik Mahmud ini. Dari mana ia berasal, kompetensinya dalam karir yang digelutinya selama ini, catatan pendidikan dan pengalaman pekerjaan, keluarga, anak dan istri serta hal-hal lain yang terasa gelap bagi masyarakat Aceh tentang sosok yang disebut-sebut akan menjadi figure pemersatu bagi rakyat Aceh. Riwayat Keh...