Surat pernyataan perang oleh Belanda itu ditulis pada 26 Maret 1873,
dan disampaikan kepada Sultan Aceh pada 1 April 1873. Pernyataan perang
itu antara lain berbunyi. “Dengan ini, atas dasar wewenang dan kekuasaan
yang diberikan kepadanya oleh Pemerintah Hindia Belanda, ia atas nama
Pemerintah, menyatakan perang kepada Sulthan Aceh..”
Pernyataan perang pihak Belanda itu dijawab dengan tegas oleh Sulthan
Alaiddin Mahmud Syah pada hari itu juga. “…kita hanya seorang miskin dan
muda, dan kita sebagai juga Gubernemen Hindia Belanda, berada di bawah
perlindungan Tuhan yang maha kuasa…,”
Penolakan secara halus itu membuat Belanda berang dan berencana untuk
melancarkan serangan ke Aceh setelah membacakan maklumat perang terhadap
Aceh. Maklumat itu dibacakan setelah beberapa kali surat menyurat yang
tegang antara sultan Aceh dengan Komisaris Pemerintah Belanda,
Niewenhuijzen yang berlindung di atas kapal perang Citadel van
Antwerpen.
Menurut Ali Hasjmy dalam “Peranan Islam dalam Perang Aceh” isi surat
penolakan itu terkesan lembut, tapi pada hakikatnya adalah suatu
pernyataan keteguhan hati dan iman seorang muslim sejati yang hanya
mengakui kekuasaan dan perlindungan Tuhan.
Untuk menghadapi ancaman Belanda itu, maka Sultan Alaiddin Mahmud Syah
menggelar musyawarah kerajaan pada 10 Zulkaidah 1288 Hijriah (1872
Masehi) di dalam Mesjid Baiturrahim Daruddunia. Dalam musyawarah itu
hadir para ulama besar, menteri dan uleebalang seluruh Aceh.
Kala itu Sulan Aceh menjelaskan tentang bahaya yang sedang mengancam
Aceh, yakni datangnya imperialis Belanda yang akan memerangi Aceh.
Terhadap ancaman itu, musyawarah melahirkan kesepakatan dan keputusan
akan melakukan perang total kalau Belanda menyerang Aceh.
Sebagai tanda kesepakatan tekad itu, maka para peserta musyawarah mengucapkan sumpah.
Sebagai tanda kesepakatan tekad itu, maka para peserta musyawarah mengucapkan sumpah.
Pengambilan sumpah dipimpin oleh Kadli Mu’adhdham Mufti Besar Aceh,
Syekh Marhaban bin Haji Muhammad Saleh Lambhuk dengan disaksikan oleh
para alim ulama Aceh.
Sumpah tersebut berbunyi:
“Demi Allah, kami sekalian hulubalang khadam Negeri Aceh, dan sekalian kami yang ada jabatan masing-masing kadar mertabat, besar kecil, timur barat, tunong baroh, sekalian kami ini semuanya, kami thaat setia kepada Allah dan Rasul, dan kami semua ini thaat setia kepada Agama Islam, mengikuti Syariat Nabi Muhammad Saw, dan kami semua ini thaat setia kepada raja kami dengan mengikuti perintahnya atas yang hak, dan kami semuanya cinta pada Negeri Aceh, mempertahankan dari pada serangan musuh, kecuali ada masyakkah, dan kami semua ini cinta kasih pada sekalian rakyat dengan memegang amanah harta orang yang telah dipercayakan oleh empunya milik. Maka jika semua kami yang telah bersumpah ini berkhianat dengan mengubah janji seperti yang telah kami ikral dalam sumpah kami semua ini, demi Allah kami semua dapat kutuk Allah dan Rasul, mulai dari kami semua sampai pada anak cucu kami dan cicit kami turun temurun, dapat cerai berai berkelahi, bantah dakwa-dakwi dan dicari oleh senjata mana-mana berupa apa-apa sekalipun. Wassalam.”
“Demi Allah, kami sekalian hulubalang khadam Negeri Aceh, dan sekalian kami yang ada jabatan masing-masing kadar mertabat, besar kecil, timur barat, tunong baroh, sekalian kami ini semuanya, kami thaat setia kepada Allah dan Rasul, dan kami semua ini thaat setia kepada Agama Islam, mengikuti Syariat Nabi Muhammad Saw, dan kami semua ini thaat setia kepada raja kami dengan mengikuti perintahnya atas yang hak, dan kami semuanya cinta pada Negeri Aceh, mempertahankan dari pada serangan musuh, kecuali ada masyakkah, dan kami semua ini cinta kasih pada sekalian rakyat dengan memegang amanah harta orang yang telah dipercayakan oleh empunya milik. Maka jika semua kami yang telah bersumpah ini berkhianat dengan mengubah janji seperti yang telah kami ikral dalam sumpah kami semua ini, demi Allah kami semua dapat kutuk Allah dan Rasul, mulai dari kami semua sampai pada anak cucu kami dan cicit kami turun temurun, dapat cerai berai berkelahi, bantah dakwa-dakwi dan dicari oleh senjata mana-mana berupa apa-apa sekalipun. Wassalam.”
Sumpah ini kemudian dimasukkan dalam sarakata Baiat Kerajaan, bertulis
tangan dengan huruf Arab. Naskahnya ditemukan kembali dalam dokumen
peninggalan Wazir Rama Setia Kerajaan Aceh Said Abdullah Di Meulek.
Naskah asli kini disimpan Said Zainal Abidin salah seorang keturunan Di
Meulek, sementara foto kopinya ada di Pustaka Ali Hasjmy di Banda Aceh.
Belanda Menyerang Aceh Setelah maklumat perang dinyatakan pada 26 Maret
1873, sebulan kemudian, Senin, 6 April 1973, Belanda mendaratkan
pasukannya di Pante Ceureumen, Ulee Lheue di bawah pimpinan Mayor
Jenderal J.H.R Kohler.
Tak tanggung-tanggung, dalam penyerangan pertama ke Aceh itu, Belanda
mengerahkan enam kapal perang, yakni Djambi, Citaden van Antwerpen,
Marnix, Coehoorm, Soerabaya, dan kapal perang Sumatera. Ditambah Siak
dan Bronbeek, dua kapal angkatan laut Pemerintah Belanda.
Selain itu ada lima barkas, delapan kapal ronda, satu kapal komando,
enam kapal pengangkut, serta lima kapal layar yang masing-masing ditarik
oleh kapal pengangkut. Tiga diantaranya untuk mengangkut pasukan
altileri, kavaleri, dan para pekerja, satu untuk amunisi dan
perlengkapan perang, serta satu kapal lagi untuk mengangkut orang-orang
sakit.
Armada Belanda tersebut dipimpin Kapten laut J.F Koopman dengan
kekuatan 168 orang perwira yang terdiri dari 140 orang Eropa, serta 28
orang Bumi Putera. Sementara 3.198 pasukannya terdiri dari 1.098
diantaranya orang-orang Eropa, sisanya 2.100 orang tentara dari Bumi
Putra, yakni tentara bayaran Belanda dari Jawa.
Pasukan itu juga diperkuat dengan 31 ekor kuda perwira, 149 kuda
pasukan, 1.000 orang pekerja dengan 50 orang mandor, 220 wanita dari
Jawa yang masing-masing ditempatkan 8 orang untuk satu kompi tentara
Belanda, serta 300 pria dari Jawa untuk pelayan para perwira Belanda.
Dalam penyerangan perdana Belanda ke Aceh itu, Kohler dibantu oleh
Kolonel E.C van Daalen, Wakil Panglima merangkap Komandan Infantri.
Begitu mendarat pasukan Belanda langsung digempur oleh pasukan Aceh dan
terjadilah perang sengit. Setelah bertempur dengan susah payah, pada 10
April 1873, Belanda dapat merebut Mesjid Raya Baiturrahman. Akan tetapi
karena tekanan-tekanan dari pejuang Aceh yang dipimpin Tgk. Imuem Lueng
Bata, Belanda pun harus meninggalkan Mesjid Raya.
Pasukan Kerajaan Aceh yang berada di bawah pimpinan Panglima Polim dan
Sultan Mahmud Syah dengan gigih menghalau Belanda dari tanah Aceh.
Perang terbuka itu berlangsung selama satu tahun yaitu dari 1873 hingga
1874. Pasukan Aceh berhasil mematahkan serangan tiga ribu lebih serdadu
Belanda dan menewaskan pimpinannya JHR Kohler di Masjid Raya
Baiturrahman Banda Aceh pada 14 April 1873.
Sepuluh hari kemudian, perang berkecamuk di mana-mana. Yang paling
besar saat merebut kembali Masjid Raya Baiturrahman, yang dibantu oleh
beberapa kelompok pasukan. Ada di Peukan Aceh, Lambhuk, Lampu'uk, Peukan
Bada, sampai Lambada, Krueng Raya. Beberapa ribu orang juga berdatangan
dari Teunom, Pidie, Peusangan, dan beberapa wilayah lain.
Tiga hari setelah Kohler tewas, Belanda mengundurkan diri ke pantai,
setelah mendapat izin dari Pemerintah Hindia Belanda di Batavia
(Jakarta-red) pada 23 April 1873. Kapal-kapal angkatan perang Belanda itu pun meninggalkan Aceh pada 29 April 1873, kembali ke Batavia.
Karena Belanda mengalami kegagalan dalam penyerbuannya ke Aceh, tak lama kemudian Jenderal G.P Booms dalam bukunya “De Erste Atjeh Expediti en Hare Enguete” mengecam Pemerintah Kolonial Belanda di Batavia atas kegagalan tersebut, karena dinilai terlalu menganggap remeh kekuatan Aceh.
Dalam buku itu ia menulis, “Blijkbaar rekende men dus op een
gemakkelijke overwinning. De feiten, een jarenlange ervaring, hebben
echtar getoond, dat men te maken had men telrijken, energieken
vijand,...met een volk van een ongekende doodsveracting,dat zich
onverwinbaar achtte...die ervaring leert in een woord, dat wij niet
gestaan hebben tegenover een machteloozen sultan wiens rijk met den
valvan zijn kraton zou ineenstorten maar tegenover een volksoorlong,die
behalve over al de materieele middelen vaqn het land, over geweldige
moreele krachten van fanatisme of patriotisme beschikte..”
Artinya: telah diperkirakan suatu kemenangan yang akan diperoleh dengan
mudah. Akan tetapi, pengalaman bertahun-tahun lamanya memberikan
petunjuk, bahwa yang dihadapi itu adalah musuh dalam julah besar yang
sangat gesit ..... suatu bangsa yang tidak gentar menghadapi maut, yang
menganggap ia tidak dapat dikalahkan.... Pengalaman itu memberi
pelajaran, bahwa kita tidak dapat mengahadapi seorang Sultan, yang
kesultanannya akan berubah dengan jatuhnya kraton, akan tetapi kita
menghadapi rakyat yang menentukan harta benda negara, memilki
tenaga-tenaga moril, seperti cinta tanah air.”
Dalam sidang Palemen Belanda ada tanggal 15 Mei 1877, Menteri Urusan
Koloni, Belanda memberikan jawaban atas interpelasi yan menyoalkan
kegagalan Belanda itu, “Wij hebben te trotseeren gehad een ongekande doodsveracthing, een volk dat zich onverwinbaar achtte.”
Artinya “Kita telah menghadapai maut, bangsa yang menganggap ia tidak
sedikit pun gentar menghadapi maut, bangsa yang menganggap ia tidak
mungkin dapat dikalahkan.”
Kegagalan Belanda itu terus saja dibicarakan, sampai Belanda pun
menaruh hormat atas keberanian pejuang Aceh baik pria maupun wanita.
Rasa hormat itu sebagaimana diungkapkan H C Zentgraaff dalam bukunya
“Atjeh” ia menulis.
“De atjehschevrouw, fier en depper, was de verpersoonlijking van
den bittersten haat jegens ons, en van de uiterste onverzoenlijkheid an
als zij medestreed, dan deed zij dit met een energie en doodsverachting
welke veelal die der mennen overtroffen. Zij was de draagster van een
haat die brandde tot den rand van het graf en nog in het aangezicht van
den dood spuwde zij hem, den kaphe in het geizcht”.
Artinya “Wanita Aceh gagah dan berani mereka pendukung yang tidak
mungkin didamaikan, terhadap kita dan bila ia turut serta bertempur,
dilakukannya denga gigih dan mengagumkan, bersikap tidak takut mati yang
melebihi kaum pria. Ia mempunyai rasa benci yang menyala-nyala sampai
liang kubur dan sampai saat mehhadapi maut, ia masih mampu mendahului
muka si kaphe.”
Zentgraaff menilai, wanita Aceh dalam setiap perang menolak setiap
perdamaian dan lebih berwatak keras dengan berprinsip membunuh atau
dibunuh. Pujian Zentgraaff terhadap wanita Aceh muncul setelah ia
menemuai Pocut Di Biheue, seorang wanita pemberani yang menyerang
patroli Belanda seorang diri. Kemudian ada lagi kisah keuletan Pocut
Baren, yang kakinya harus diamputasi.
Ada lagi kisah istri Teungku Mayed Di Tiro, putra Tgk Chik Di Tiro.
Dalam pertempuran pada tahun 1910, meski sudah dikepung pasukan Belanda,
Tgk Mayed Di Tiro bisa meloloskan diri atas bantuan istrinya.
Sementara istrinya tertangkap dengan luka para di tubuhnya, sewaktu
komandan pasukan Belanda hendak memberikan pertolongan, ia menolaknya. “Bek ta mat kei kaphe budok (jangan sentuh aku kafir celaka),” hardiknya dengan suara lantang. Ia lebih memilih syahid dari pada mendapat pertolongan dari kafir.
Hal yang sama juga diakui oleh Panglima Perang Belanda di Aceh,
Jenderal Van Pel. Dalam buku ES Klerek: History of Netherland Eas Indie
ia mengakui jatuhnya mental tentara Belanda akibat perlawanan sengit
dari rakyat Aceh.
Ia menulis: “The proclamation of direct rule over Acheh pi proper
had been a mistaken idea; there could be not question of conquest for
the time being, the standing army in Acheh beingdepleted by the heavy
losses suffered and the consequent large drainage of force.”
(Proklamasi tentang langsung dijajah/diperintah Aceh, sesungguhnya
adalah cita-cita yang amat salah. Sebenarnya soal menang tidak ada waktu
itu. Keadaan serdadu di Aceh sangat menyedihkan karena menderita
kekalahan hebat dan akibatnya kemusnahan kekuatan yang besar).
Pada Perang Aceh kedua (1874-1880), pasukan Belanda dipimpin oleh
Jenderal Jan van Swieten. Belanda berhasil menduduki Keraton Sultan, 26
Januari 1874 dan menjadikannya sebagai pusat pertahanan Belanda. Pada 31
Januari 1874 Jenderal Van Swieten mengumumkan bahwa seluruh Aceh jadi
bagian dari Kerajaan Belanda.
Ketika Sultan Machmud Syah wafat 26 Januari 1874, digantikan oleh
Tuanku Muhammad Dawood yang dinobatkan sebagai Sultan di Masjid
Indragiri.
Perang pertama dan kedua ini adalah perang total dan frontal, dimana
pemerintah masih berjalan mapan, meskipun ibu kota negara
berpindah-pindah ke Keumala Dalam, Indrapuri, dan tempat-tempat lain.
Perang ketiga (1881-1896) dilanjutkan secara gerilya dan dikobarkan
perang fi sabilillah. Dimana sistem perang gerilya ini dilangsungkan
sampai tahun 1904.
Dalam perang gerilya ini pasukan Aceh di bawah Teuku Umar bersama
Panglima Polim dan Sultan. Pada tahun 1899 ketika terjadi serangan
mendadak dari pihak Van der Dussen di Meulaboh, Teuku Umar gugur. Tetapi
Cut Nyak Dhien istri Teuku Umar kemudian tampil menjadi komandan perang
gerilya.
Perang keempat (1896-1910) adalah perang gerilya kelompok dan
perorangan dengan perlawanan, penyerbuan, penghadangan dan pembunuhan
tanpa komando dari pusat pemerintahan Kesultanan.
Komentar
Posting Komentar