Perang Belanda-Aceh sudah berlalu. Sejarah heroik bangsa Aceh mulai
dicatat oleh dunia ketika Belanda yang mengultimatum Aceh pada 26 Maret
1873 yakni sesudah Tiga Ratus Tahun Belanda menjajah Pulau dan Bangsa
Jawa. Ultimatum ini membuktikan bahwa Aceh merupakan sebuah Negara yang
merdeka dan berdaulat.
Berbagai tanggapan dan komentar dari beberapa negara atas ultimatum
Belanda terhadap Aceh timbul. Ini merupakan sebuah pengakuan dari dunia
bahwa Aceh merupakan sebuah negara yang sangat diperhitungkan di peta
bumi hingga beberapa negara dimaksud juga tidak mengambil bagian
(abstain) dan lebih bersikap Netral terhadap ultimatum tersebut. Di
antara Negara-negara yang bersikap Netral adalah Amerika Serikat,
Inggris, Perancis, Austria dan Italia. Negara-negara tersebut lalu
membuat pernyataan Netral terhadap ultimatum Belanda yang hendak
menyerang Kerajaan Aceh. Pernyataan Netral itu dikenal dengan
“Proclamation of Impartial Neutrality”. Dan sekali lagi, ini sudah cukup
menjadi bukti bahwa Aceh adalah negara yang mempunyai diplomasi yang
tangguh dalam membangun hubungan internasional.
Kebijakan menyerang Aceh bermula dari keputusan Mr. James Loudon yang
menjabat sebagai Gubernur Jenderal Hindia-Belanda (1872-1873), kebijakan
tersebut mendapat protes dari beberapa menteri di kabinet Belanda
dengan melakukan tindakan pengunduran diri dari kabinet, tindakan dari
beberapa pejabat Belanda tersebut menyebabkan Loudon terpaksa
mengundurkan diri dari Gubernur Hindia Belanda. Namun, kebijakan itu
tetap dilaksanakan dengan mengirim enam Kapal Uap, dua Kapal Angkatan
Perang Laut, lima Kapal Barang, delapan Kapal Peronda, enam Kapal
Pengangkut dan lima Kapal Layar sebagai Agresi Pertama terhadap Aceh
pada tanggal 5 April 1873.
Sehari kemudian (6 April 1873) Pasukan Belanda mendarat di Pantee
Ceureumen (Ulee Lheu), pendaratan pertama itu mendapat sambutan dari
laskar perang Aceh yang menyebabkan Belanda terpaksa kabur dari perairan
Aceh. Pada tanggal 8 April 1873 pasukan Belanda kembali mendarat di
Aceh dengan membawa pasukan 3.198 prajurit bawahan dan 168 perwira,
Agresi ini dipimpin oleh Mayor Jenderal JHR. Kohler. Perang sengit pun
berlangsung Belanda terus menggempur Kerajaan Aceh yang menyebabkan JHR.
Kohler tewas mengenaskan oleh bidikan sniper Aceh saat itu yakni Teuku
Njak Radja Lueng Bata (Anak Raja Imum Leung Bata) sehingga gempuran dan
Perlawanan yang dilakukan oleh Rakyat Aceh saat itu diabadikan dalam
beberapa surat Kabar Dunia, diantaranya; The Times London menjadikan
Perang Aceh sebagai Headline beritanya pada tanggal 22 April 1873
ditulis;
“Suatu peristiwa yang sangat luar biasa terjadi dalam sejarah
penjajahan modern sudah dilaporkan dari kepulauan Melayu. Satu kekuatan
militer yang sangat besar sekali yang terdiri dari bangsa Eropa, sudah
dikalahkan dalam medan perang oleh tentara anak negeri yakni Tentara
Negara Aceh. Bangsa Aceh sudah mendapat kemenangan yang menentukan dan
memutuskan. Musuh mereka bukan saja sudah dikalahkan tetapi juga dipaksa
melarikan diri dari negeri itu”
Saat pertempuran masih terjadi di Aceh, pada tanggal 28 Juli 1873
seorang Bangsawan Inggris; Lord Stanley of Alderley memberikan
peryataan resminya dihadapan Majelis Tinggi Parlemen Inggris (House of
Lord), dimana saat itu beliau menyimpulkan dengan peryataannya;
“Sebenarnya Belanda tidaklah mempunyai alasan apa-apa untuk bertengkar
dengan Aceh, yang sama sekali tidak pernah mengganggu kepentingan
Belanda. Sekarang Belanda sudah menyerang Aceh. Dan Aceh sudah
mengalahkan Belanda”
Pernyataan itu sebagai satu upaya yang beliau tunjukkan kepada Aceh
dihadapan Majelis Tinggi Palemen Inggris terhadap perjanjian Anglo-Dutch
Treaty of 1871 (Perjanjian Inggris-Belanda Tahun 1871) yang diasumsikan
oleh sebagian orang saat itu bahwa Inggris sudah menghapus Kewajibannya
untuk membantu Aceh sebagaimana disebutkan dalam Perjanjian
Atjeh-Inggris Tahun 1819. Maka Lord Stanley bertanya di hadapan Majelis
Tinggi Parlemen Inggris;
“Mengapa mereka (Menteri-Menteri Inggris) tidak membuat pengecualian
yang wajib dibuat dalam perjanjian itu atas nama Aceh, padahal Aceh
berhak mengharapkan kita menghormati Kemerdekaannya yang sudah
berabad-abad itu, dan sejarahnya yang gilang-gemilang. Karena Aceh sudah
menjadi satu Negara Merdeka dan berdaulat ketika Belanda masih satu
provinsi dengan Spanyol?”
Dalam Majalah terkemuka di Amerika saat itu, Harper’s Magazine
menerbitkan sebuah artikel pada Bulan Agustus Tahun 1905 dengan Judul
“The One Hundred Year Warof Today”. Yang dimaksudkan adalah Perang
Belanda dengan Aceh;
"Bangsa Atjeh yang oleh Belanda sudah berpuluh tahun dicoba
menaklukkannya dengan sia-sia, mendiami bagian Utara dari pulau
Sumatera, yaitu bagian yang terbaik dan subur dari pulau itu, pulau yang
terbesar diantara Kepulauan Melayu... Bangsa Atjeh adalah satu bangsa
yang suka berperang...dan tidak ada bukti yang lebih terang tentang
kekuatan dan kebesaran jiwa kebangsaan mereka dari pada kenyataan bahwa
negeri mereka masih tetap merdeka, dan orang-perang mereka tidak pernah
dapat dikalahkan oleh siapapun.
"Pada waktu yang sama Belanda mulai menelan pulau Jawa. Usaha
penjajahan mereka sedikit demi sedikit diperluas dari Jawa ke Sumatera.
Tetapi Belanda tidak pernah berani meluaskan penjajahan mereka ke
wilayah 'orang2 berani di Utara' ("The fighting North") dimana bangsa
Atjeh masih cukup jantan untuk melawan si penjajah.
"Pada tahun 1871, pemerintah Belanda di Den Haag mulai bersiap-siap
untuk menyerang Atjeh. Pada 8 April, 1873, tentera Belanda menyerang
Bandar Atjeh tetapi dipukul mundur oleh tentera Negara Atjeh dengan
kekalahan yang amat besar. Panglima Besar Belanda, Jenderal Kohler,
termasuk diantara yang mati terbunuh...
"Pada bulan Juni, 1874, Belanda melancarkan serangan yang kedua atas
Atjeh yang dipimpin oleh jenderal Van Swieten. Sesudah menghadapi banyak
pertempuran yang berlumur darah, akhirnya Belanda dapat menduduki
istana dan Mesjid Raya. Kemudian, sesudah pertempuran berlangsung satu
bulan maka kota Bandar Atjeh menjadi hancur-Iebur. Bangsa Atjeh
membiarkan ibu-kota mereka diduduki Belanda tetapi secara rahsia mereka
bersiap untuk mengadakan perlawanan yang terus-menerus.
"Segera sesudah itu, bangsa Atjeh mulai melancarkan perang gerilya
mereka yang sangat ditakuti oleh Belanda. Mereka membunuh tentera
Belanda dan menghancurkan kaki-tangannya di daerah2 pedalaman...
Jenderal2 Belanda yang silih berganti dikirim ke Atjeh semuanya terpaksa
pulang ke negeri Belanda kalah dan hina-dina...
"Patut dicatat bahwa serdadu2 Belanda yang kena ditangkap oleh tentera
Atjeh diperlakukan dengan baik dan mereka itu memuji-muji tentera Atjeh.
Mereka tidak pernah dianiaya atau diperlakukan diluar peri kemanusiaan
oleh tentera Atjeh. Biasanya mereka digiring kembali dibawah pengawalan
ke asrama2 mereka sendiri.
"Orang2 Islam bangsa Melayu ini tidak pernah dapat ditaklukkan oleh
siapapun oleh karena iman mereka pada agama Islam dan kecintaan mereka
pada tanah-airnya dan mereka sudah biasa berpegang melawan bangsa2 Eropa
berabad-abad lamanya. Mereka belum pernah menundukkan kepala mereka
kepada sipenjajah asing. Mereka lebih suka mati dari pada menyerah
kepada sipenjajah manapun juga. "Sebegitu lekas seorang Pemimpin Atjeh
terbunuh atau tertangkap, ada Yang lain yang segera menggantikannya!"
Inilah selayang pandang apa yang terjadi di Aceh ketika melawan Belanda
dan abadikan oleh media dunia. Peristiwa yang mengajari Aceh menjadi
sebuah bangsa yang tangguh, berkarakter dan teguh dalam menjalankan
prinsip. Bangsa yang digelar oleh dunia sebagai The Fighting North
(orang-orang berani dari utara) yang telah membuat bangsa belanda malu
kepada dunia atas kekalahannya dengan Aceh. Kekalahan ini merupakan
sebuah tamparan terhadap bangsa eropa melawan bangsa timur. Sejarah
Perang ini merupakan sebuah contoh yang penuh tauladan, bagaimana
pahlawan Aceh melihat dirinya sebagai sebuah bangsa yang mulia, kuat dan
berharga dan sangat mengerti apa yang harus dilakukan ketika bangsanya
ditindas.
Tetapi, generasi Aceh saat ini telah menodainya dengan tidak mengerti,
menghargai dan tidak bisa mengambil pelajaran yang sangat berharga dari
sejarah Perang Belanda-Aceh yang sudah 140 Tahun berlalu. Memang, kita
tidak memungkiri bahwa Belanda bukan hanya menyerang Aceh tetapi juga
membunuh dan memutuskan hubungan antara generasi Aceh sekarang dengan
sejarah masa lalu hingga generasi Aceh saat ini tidak lagi mengerti apa
yang terjadi sebelumnya. Padahal, sejarah adalah sebuah jawaban yang
memberi kita sebuah pandangan atas apa yang harus kita lakukan sekarang
untuk memulai kembali membangun Aceh.
Pesan dari sejarah Perang Belanda – Aceh yang sudah 140 tahun berlalu
menjadi isyarat kepada generasi Aceh saat ini bahwa lebih baik mati
dalam menegakkan agama, bangsa dan negara dari pada hidup menjadi budak
dan jajahan bangsa lain dan bagaimana menghargai Tanoh Pusaka sebagai
warisan yang kini telah di amanahkan kepada kita.
Semoga ini menjadi pelajaran berharga bagi Pemerintah dan Rakyat Aceh
untuk selalu mengenang “Hari Pahlawan Aceh” di rumah, di jalan, dan
dimanapun bangsa Aceh berada dengan memanjat doa dan harapan agar Aceh
menjadi lebih baik dan kembali menjadi The Fighting North (orang-orang
berani dari utara). Semoga !
Komentar
Posting Komentar