Raja selalu menggenggam tombak bintang dan menunggangi kuda putih setiap kali memimpin pasukannya bergerilya melawan Belanda
Empat sebayak Karo bersama istrinya.@senina77.wordpress.com
Adri Istambul Lingga Gayo mengenakan pakaian kebesarannya. Setelan jas
warna gelap dengan dasi merah melengkapi bulang-bulang (penutup kepala),
buka bulu (kain segitiga penutup pundak belakang), dan selempang yang
berwarna senada. Hari itu, Kamis pertama Juni ini, Adri menjadi
penggagas sekaligus pemimpin upacara ngampeken tulan-tulan bagi
leluhurnya, Raja Senina Lingga.
Merupakan keturunan langsung (golongan sembuyak) Raja Senina Lingga,
Adri berasal dari kalangan bangsawan Sibayak Lingga generasi kedelapan.
Dia adalah keturunan langsung dari Sibayak Lingga Raja Kin, salah satu
dari lima putra Raja Senina Lingga. Menurut pemaparan Adri dalam upacara
ngampeken tulan-tulan, Raja Senina Lingga dalam hidupnya menikahi sepuluh istri dan memiliki sepuluh anak: lima perempuan dan lima laki-laki.
Kelima putranya adalah Sibayak Lingga Sebanaman, Sibayak Lingga Ahad,
Sibayak Lingga Raja Kin, Sibayak Lingga Mbisa, dan Sibayak Lingga Umbat.
Detail riwayat hidup para leluhur masyarakat Karo tidak terdokumentasi
dengan baik. Buktinya, Adri tidak bisa menyebutkan kelahiran ataupiun
kematian Raja Senina Lingga dan keturunannya dengan pasti. Raja Senina
Lingga disebut wafat karena uzur pada usia 120 tahun. Sepeninggal sang
Raja, Kerajaan Sibayak Lingga—yang istananya, Gerga, berada di Desa
Lingga, Kecamatan Simpang Empat, Kabupaten Karo—dipimpin kelima putranya
secara bergilir.
Namun kesaktian Raja Senina Lingga sangat kuat membekas dalam kenangan
Adri dari cerita-cerita mitologi yang ia dapatkan dari para
pendahulunya. Kesaktian Raja Senina Lingga syahdan diwarisi langsung
dari ayahnya, Raja Natang Negeri. Raja Natang Negeri adalah salah satu
putra dari Raja Linge I dari Kerajaan Linge (Lingga) di Tanah Gayo,
Aceh. Kerajaan Linge, seperti disebutkan dalam buku Gajah Putih
karangan M Junus Djamil (1959), didirikan orang Batak pada masa
Kerajaan Perlak diperintah Sultan Machudum Johan Berdaulat Mahmud Syah
abad ke 11.
Raja Linge I memiliki enam anak. Selain anak perempuan dan anak
bungsunya, anak-anak Raja Linge I pergi dari istana. Natang Negeri
merantau ke Tanah Karo. Ia bermukim di Desa Lingga dan mendirikan
Kerajaan Sibayak Lingga. Di usia remaja, ia menikahi tiga gadis: Beru
Sebayang, Beru Ginting Rumah Page, dan Beru Tarigan Nagasaribu. Dari
Beru Sebayang, lahir seorang putra, Sibayak Lingga (Raja Senina Lingga).
Ketika Senina Lingga menjadi penguasa, raja di Kesultanan Aceh, yang
merupakan kerabatnya, memberikan pisau Bawar dan bendera bertuliskan
kalimat syahadat.
“Sebagai tanda dia saudara dari Sultan Iskandar Muda dan keturunan Raja
Linge. Benda pusaka itu masih kami pegang (simpan) sebagai tanda bukti
keluarga saya,” ujar Adri.
Dengan pisau Bawar itu, kesaktian Raja Senima Lingga bertambah. Di masa
hidupnya, raja itu menjadi pentolan dalam menyerang dan mengusir
serdadu Belanda. Dalam adu strategi perang, Raja Senina Lingga tergolong
piawai. Menurut cerita turun-temurun yang didengar Adri, sang Raja
selalu menggenggam tombak bintang dan menunggangi kuda putih setiap kali
memimpin pasukannya bergerilya melawan Belanda. Pertempuran demi
pertempuran dilakukan raja itu hingga ke Desa Bintang Meriah dan
Kuracane, Aceh.
Raja Senina Lingga meninggal pada usia 120 tahun. Sebelum mangkat, ia
berpesan agar dimakamkan di Bukit Ndaholi, Desa Bintang Meriah. Dalam
upacara kematiang, yang berlangsung empat hari empat malam, jenazahnya
diarak ke seluruh wilayah kekuasaan Kerajaan Sibayak Lingga. Saat menuju
tempat pemakaman, kepalanya terpisah dari tubuhnya. Menurut Adri, hal
itu terjadi karena kesaktiannya. Tubuhnya dimakamkan di tanah, sedangkan
kepalanya disimpan di geriten yang dibangun di atas makamnya.
Hanya, tengkorak Raja Senina Lingga nyaris dibakar dalam sebuah
kerusuhan. Menurut Adri, kerusuhan itu dilatari peristiwa revolusi
sosial pasca-Proklamasi Kemerdekaan. Kerusuhan itu mengusik makam para
raja di Karo. Raja-raja yang dianggap bersekutu dengan Belanda menjadi
sasaran amuk revolusi.
“Padahal leluhur kami memerangi Belanda,” ujar Adri. “Saat itu Tanah
Karo dibumihanguskan. Oleh kakek saya, kepala (tengkorak) itu dibawa
mengungsi ke Kutacane.”
Setelah kondisi membaik, pada 1950-an, kerabat keturunan Raja Senena
Lingga kembali ke Desa Bintang Meriah dan menempatkan tengkorak itu di
dalam kurung manik. “Kurung manik ini rumah persinggahan. Rumah asli Raja Senina Lingga masih berdiri di Desa Lingga,” kata Adri.
Setelah 63 tahun disimpan di rumah persinggahan, tengkorak berumur 400 tahun itu akhirnya dikembalikan ke geriten-nya di Bukit Ndaholi. Semua keturunannya, dari golongan sembuyak, kalimbubu, dan anak beru, kembali bersatu mengantarkan nini mereka ke tempat peristirahatan yang lebih tinggi.[]
sumber : majalah tempo
Temukan berbagai macam informasi wisata yang ada di Indonesia beserta makna/arti/cerita tentang wisata tersebut yang ada di indonesia
BalasHapusDan juga artikel-artikel tentang wisata di wisataIndonesiaraya.com dan like page facebook wisataIndonesiaraya.com