Langsung ke konten utama

Wali Nanggroe, Penguasa Aceh Sesungguhnya?


13443028532018795903
Wali Nanggroe, Penguasa Aceh sesungguhnya?

Akhir-akhir ini, pasca kenaikan pasangan Gubernur dan Wakil Gubernur Aceh terpilih, Zaini Abdullah dan Muzakkir Manaf, isu merebak di tengah masyarakat bahwa sesungguhnya pemimpin Aceh yang baru kali ini adalah “boneka” Sang Pemangku Wali Nanggroe, Malik Mahmud. Proses “pembinaan” yang dilakukan dalam waktu yang relatif cukup lama mulai dari proses rekrutmen hingga pengaturan jabatan dalam lingkup organisasi GAM saat itu, sampai dengan sekarang dalam menjalankan kebijakan-kebijakan politik baik dalam maupun luar negeri di Aceh.

Sebagai contoh, Wakil Gubernur Aceh Muzakkir Manaf, 30 tahun lalu adalah pemuda tampan karismatik pilihan Malik Mahmud untuk dikirim belajar dan berlatih ilmu kemiliteran di Camp Tajura, Lybia. Secara akademis intelektual, Muzakkir sangatlah jauh untuk dikatakan cerdas, bahkan prestasi akademiknya selama bersekolah di SMA Negeri Panton labu pun terbilang tidak mengesankan. Namun dalam hal kemiliteran sosok dan figurnya yang simpatik dianggap merupakan pilihan yang tepat untuk menjadi komandan di lapangan selama konflik antara Indonesia melawan GAM. Bodoh tetapi karismatik, adalah pilihan tepat bagi seorang “Master mind” sekelas Malik Mahmud untuk menjadikan “anak asuh” rekrutannya menjadi pengganti pemimpin GAM karismatik lainnya, yaitu Abdullah Syafei yang dianggap oleh Malik Mahmud sebagai tokoh yang sangat berpotensi menghalang-halangi niatnya untuk “menguasai” Aceh.

23 Januari 2002, Abdullah Syafei gugur dalam suatu penyergapan oleh pasukan TNI. Kisah penyergapan itu sendiri tidak terlepas dari “permainan” dan strategi Malik Mahmud dalam “menjual” informasi tentang keberadaan Abdullah Syafei kepada Pemerintah Indonesia. Setelah wafatnya Abdullah Syafei, Malik Mahmud dengan cepat menjalankan strateginya dengan mengangkat pengganti panglima GAM yang telah disiapkan sejak lama, Muzakkir Manaf. Dan sejak itu, mulailah era kepemimpinan GAM yang tidak lagi mengutamakan kepentingan rakyat Aceh di atas semua kepentingan, namun lebih kepada kepentingan GAM sebagai organisasi dan apa yang diperjuangkannya. Juli 2002 kemudian, Malik Mahmud segera menggagas rapat Sigom Donya di Stavanger Norwegia untuk menegaskan posisinya dalam struktur perjuangan GAM. Disitulah Wali Nanggroe ditentukan oleh Hasan Tiro, dan Malik Mahmud berkedudukan sebagai Pemangku Wali. Dengan strategi dan rekayasa sejarah, tidak seorangpun yang menyadari niat busuk dari Malik Mahmud dalam menyusun rencana kekuasaan bagi kelompoknya, kecuali MP GAM saat itu yang digawangi oleh Dr. Husaini, yang kerap menentang keputusan yang diambil oleh Malik Mahmud yang cederung sentralistis dan otoriter, sementara melalui MP GAM, perjuangan GAM lebih fokus pada kepemimpinan kolektif dengan tetap memperjuangan kepentingan rakyat Aceh sebagai prioritas.

Sedikit melihat ke belakang, MP-GAM sendiri adalah organisasi yang dibentuk diKuala Lumpur pada tahun 1999, oleh para senior GAM yang masih setia kepada perjuangan. Inisiatif pembentukan majelis ini merupakan sikap antisipatif mengingat kondisi kesehatan Wali yang mulai menurun akibat terkena stroke pada Agustus 1997, ditambah lagi dengan fakta rancunya konsolidasi perjuangan setelah diambil alih oleh Malik Mahmud.

Malik Mahmud saat itu telah menyingkirkan relatif 90% para loyalis perjuangan diStockholm dan Malaysia, termasuk di antaranya Panglima Angkatan Darat Tgk. M. Daud Husin. Beberapa tokoh penting generasi awal sudah tidak lagi mendapat tempat. Sebaliknya Malik pun mulai membangun hegemoni kekuasaannya bersama orang-orang yang relatif mudah dikendalikannya melalui GAM “baru’ hasil rekrutan Malik Mahmud sendiri antara tahun 1986 sampai dengan tahun 1989.

Mungkin banyak orang yang lupa atau tidak mengetahui bahwa (alm.) Tgk. Hasan M. di Tiro telah membentuk Majelis Negara dan menandatangani dekrit pada tanggal 17 Maret 1979, sesaat sebelum beliau berangkat keluar negeri. Dekrit tersebut menegaskan bahwa dalam kondisi Wali Negara yang absen, misalnya karena sakit atau keluar negeri, maka Pemerintahan dijalankan oleh Majelis Menteri (Council of Ministers), yang dikepalai oleh Perdana Menteri dengan beberapa orang Wakil Perdana Menteri. Dalam kondisi absen tetap, seperti kematian, maka kepemimpinan digantikan secara berturut-turut sesuai dengan ranking senioritas yang telah ditentukan sebagai berikut: Perdana Menteri-1 (PM-1): Dr. Mokhtar Y. Hasbi, Wakil PM-1: Tgk. Haji Ilyas Leube, Wakil PM-2: Dr. Husaini Hasan, Wakil PM-3: Dr. Zaini Abdullah, dan Wakil PM-4: Dr. Zubir Mahmud.

Menyadari posisinya tersebut, Malik Mahmud mulai “menggembosi” satu persatu pimpinan MP GAM, dengan berbagai rekayasa yang telah kita saksikan sendiri selama ini, mulai dari Guree Rahman, Tgk. Don Zulfahri, Tgk. Daud USman dan lain-lain. Semuanya direkayasa untuk ditangkap hingga dibunuh dengan cara yang mengenaskan.

Sekarang, dengan terpilihnya pemimpin Aceh yang baru hasil dari kesepakatan dan skenario yang telah disusun dengan apik oleh Malik Mahmud, maka kekuasaan Aceh sebenarnya bukanlah di tangan pemimpin terpilih, apalagi rakyat Aceh. Sebab, Sang Wali nanggroe yang baru sedang “bermain” mengkutak-katik struktur dan organisasi pemerintahan demi keuntungan  dan kekuasaan sendiri. Lihatlah apa yang terjadi dengan rekayasa tambang emas di Aceh Selatan yang melibatkan perusahaan Australia dengan penghubung yang tak jelas asal muasalnya apalagi reputasinya (Pedro Limardo), belum lagi rencana pembentukan tim pemantau pembangunan Aceh yang akan melibatkan unsur-unsur KPA atau eks kombatan GAM tanpa dilandasi pada kompetensi namun lebih kepada “balas budi” semata.

Mengerikan, namun nyata terjadi. Penguasaan atas sebuah daerah melalui sebuah proses yang demokratis karena melibatkan rakyat di dalamnya, hendaknya terbebas dari segala intervensi kepentingan oleh siapapun dan apapun, janganlah seorang pemimpin tersandera oleh “utang budi” atau utang-utang lainnya, sebab satu-satunya tempat ia berutang adalah kepada rakyatnya yang telah menaruh harapan besar kepada dirinya. Oleh karenanya, sudah sepatutnya pemimpin harus selalu berpedoman kepada kepentingan rakyat dengan menempatkan rakyat sebagai prioritas untuk disejahterakan.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

BUKTI PENGKHIANATAN MALEK MAHMUD DAN ZAINI ABDULLAH CS.TERHADAP WALI

STATUS ACHEH DALAM NKRI* Penulis Yusra Habib abdul Gani.Dan sebelumnya saya minta maaf kana saya ingin menulis sedikit isi buku tersebut,tentang bagai mana saat saat penandatanganan MoU,karna kami di dalam nanggro masih banyak yang belum tau tentang cerita tersebut,mulai halaman,129, 130,131,132, 133,yang isinya sebagai berikut : Yang membuktikan bahwa Tengku Hasan di Tiro memang benar benar ditipu oleh staff terdekatnya. Itupun,setelah Fadlon Musa ( salah satu anggota GAM di Belanda )mendapat teks MoU Helsinki dari Arif Fadilah (salah seorang anggota GAM di Jerman )pada tgl.6 Agustus 2005.Arif Fadilah sendiri memperolehnya dari Teuku Hadi ( salah seorang anggota GAM di Jerman ) yang ikut magang beberapa kali ke Helsiki. Setelah membaca teks MoU Helsinki,Fadlon terkejut dengan kalimat :" The parties commit themselves creating within which the government of the Acehnese people can be manifested through a fair and democratic processs within the unitary state and consti...

SITUS SEJARAH MAKAM KUTA GLEE SAMALANGA TERBENGKALAI

Di bagian depan komplek masih berdiri plang bertuliskan Komplek Makam Teungku Kuta Gle dan Benteng Kuta Gle .    Komplek Makam Kuta Glee.@ATJEHPOSTcom/MS Sultan KOMPLEK makam pahlawan Teungku Kuta Glee di perbukitan Desa Batee Iliek, Kecamatan Samalanga, Bireuen tak terurus. Padahal makam tersebut situs sejarah dan bukti gigihnya pahlawan Aceh melawan Belanda. Pantauan ATJEHPOSTcom, komplek makam itu masih dipenuhi belukar. Kesan tidak ada perhatian dari dinas terkait begitu kentara. Bahkan, bangunan yang menutupi makam atapnya telah rusak, tertimpa cabang pohon asam jawa. Dahan pohon menimpa atap bangunan yang menutupi makam telah terlihat sejak beberapa bulan lalu. Sepertinya tidak ada warga atau peminat sejarah yang datang ke sana untuk memperbaiki bangunan tersebut. Supaya terlihat ada rasa kepedulian dari anak negeri. Makam itu dikelilingi pagar beton dengan jeruji, berbentuk persegi sekitar 30 x 30 meter. Beberapa bagian pagar itu juga terlihat rusak...

Mengenal Malik Mahmud, Sang Pemangku Wali (1)

Malik Khaidir Mahmud.  Demikianlah nama asli beliau. Seorang tokoh elit eks Gerakan Aceh Merdeka (GAM) yang dikenal dekat dengan Wali Nanggroe, Hasan Tiro. Tokoh yang satu ini memang sungguh unik, tertutup dan sangat berhati-hati dalam berbagai isu yang menyangkut akan latar belakang dan riwayat hidupnya. Sehingga tidak diperoleh catatan yang jelas apa dan siapa Malik Mahmud tersebut. Sementara itu, arah politik Aceh pasca penandatanganan MoU Helsinki, menjadikan tokoh ini begitu populer sebagai Perdana Menteri GAM yang “berhasil” membawa perdamaian ke Aceh melalui jalur politik. Hingga saat ini, tidak ada catatan yang jelas mengenai siapa sebenarnya Malik Mahmud ini. Dari mana ia berasal, kompetensinya dalam karir yang digelutinya selama ini, catatan pendidikan dan pengalaman pekerjaan, keluarga, anak dan istri serta hal-hal lain yang terasa gelap bagi masyarakat Aceh tentang sosok yang disebut-sebut akan menjadi figure pemersatu bagi rakyat Aceh. Riwayat Keh...